Potensi Kerusakan Lahan Karst di Gunung Sadeng Kec. Puger Kab. Jember
Potensi Kerusakan Lahan Karst di Gunung
Sadeng Kecamatan Puger Kabupaten Jember
Indah Rahmasari
Mahasiswa S1 Pendidikan Geografi, irahmasari@ymail.com
Nugroho Hari
Dosen Pembimbing Mahasiswa
Abstrak
Lahan Karst memiliki
peran ekologi yang penting bagi lingkungan sekitarnya. Aktivitas pertambangan
lahan karst di gunung Sadeng akan merusak keseluruhan ekosistem lahan karst
tersebut. Ini terbukti dari kandungan C organik pada tanah yang berbeda pada
lereng yang dulunya ada aktifitas pertambangan dan lereng yang tidak ada
aktifitas pertambangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik
pertambangan kapur di Gunung Sadeng dan mengetahui potensi kerusakan lahan
karst akibat aktivitas pertambangan di Gunung Sadeng.
Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode survey. Data primer diperoleh dengan
melakukan pengukuran kondisi ekologis lahan karst dengan indikator luas
singkapan batuan, kerapatan tajuk, ketebalan tanah, kemiringan lereng,
kandungan lengas tanah dan bahan organik tanah. Selain itu melakukan wawancara
dengan responden untuk mencari data tentang karakteristik pertambangan kapur
dan sikap masyarakat terhadap ekosistem lahan karst di Gunung Sadeng. Analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kuantitatif
dengan menginterpretasikan hasil pengukuran tiap variabel. Data yang diperoleh
dari pengukuran potensi kerusakan lahan karst di lapangan selanjutnya ditabulasi dan diklasifikasikan
ke dalam tingkat potensi tinggi, sedang, atau rendah.
Berdasarkan hasil
penelitian di tiga lereng Gunung Sadeng dapat disimpulkan bahwa aktifitas
pertambangan di gunung Sadeng kecamatan Puger kabupaten Jember terlogong dalam
aktifitas pertambangan yang intensif. Luas singkapan batuan, ketebalan
tanah, kerapatan tajuk, kemiringan
lereng, lengas tanah, bahan organik tanah, dan sikap masyarakat, merupakan
variabel lahan karst yang membentuk suatu ekologi, memiliki potensi mengalami
kerusakan akibat pertambangan dengan metode pengeboman. Potensi kerusakan lahan
karst di Gunung Sadeng pada
lereng atas dan lereng tengah tergolong tinggi, sementara pada lereng bawah
tergolong rendah. Kerapatan vegetasi memiliki arti penting dalam membedakan
potensi kerusakan tinggi dengan sedang. Sebagian besear sikap masyarakat
sekitar Gunung Sadeng setuju dalam menjaga ekosistem lahan karst di Gunung
Sadeng.
Kata Kunci : Ekosistem
Lahan Karst, Pertambangan Kapur di Gunung
Sadeng, Potensi Kerusakan Lahan Karst di Gunung sadeng.
PENDAHULUAN
Karst
adalah suatu kawasan
yang memiliki karakteristik relief dan drainase yang khas, terutama disebabkan oleh derajat pelarutan
batu-batuannya yang intensif. Batu
Gamping merupakan salah satu batuan penyusun karst. Kawasan karst
merupakan kawasan lindung
cagar alam, dimana
salah satu kekuatan potensinya
merupakan sumberdaya alam
yang tidak terbarukan
dan terdapat banyak fenomena
alam yang unik
dan langka. Selain itu juga
mempunyai nilai penting bagi kehidupan dan ekosistem sehingga pemanfaatan
ruang dan pengaturan wilayah untuk pembangunan perlu kehati-hatian agar
tidak merusak lingkungan.
Kawasan
karst sering terkesan hanya sebagai lahan gersang dan berbatu, sehingga tidak
mengherankan kalau batu dianggap sebagai potensi yang menggiurkan dari kawasan
karst. Penambangan batu gamping di kawasan karst menjadi primadona sektor usaha
dengan mengabaikan fungsi ekologis. Kesan inilah yang selama ini tertanam dalam
sebagian besar baik masyarakat, pemerintah,
maupun pengusaha. Di sisi lain kebutuhan akan batu gamping terus
meningkat. Batugamping saat ini digunakan sebagai batu fondasi, plester untuk
adukan pasangan bata, dan semen. Sementara bahan baku industri dengan nilai
ekonomi tinggi seperti karbit, peleburan baja, bahan pemutih, soda, abu
penggosok, pembuatan logam magnesium, pembuatan
alumina, plotasi, pembasmi hama,
penjernih air, dan keramik.
Dalam bidang pertanian batu gamping
digunakan sebagai bahan pupuk. Selain itu juga untuk ornamen seni seperti batu
hias (lantai, dinding, atau cindera mata) (Haryono, 2011:1).
Saat ini
kawasan karst banyak mendapat ancaman kerusakan oleh ketidaktahuan masyarakat
terhadap fungsi karst itu sebagai sumber daya air dan keanekaragaman hayati dan
fungsi ekologis. Masyarakat hanya mengenal karst sebagai bahan galian untuk
bangunan, semen, kapur tohor dan marmer. Sehingga pemanfaatan karst oleh
masyarakat kurang memperhatikan aspek kelestarian fungsi lingkungan sebagai
penunjang pembangunan. Beberapa
kerusakan yang terjadi akibat aktivitas pertambangan diantaranya adalah
penurunan jumlah vegetasi yang diakibatkan terbukanya lahan karst hal ini
memiliki potensi mengalami erosi. Erosi terjadi sebagai akibat tidak lagi
terdapat tutupan lahan berupa vegetasi, sehingga energi hujan yang jatuh tidak
dapat lagi menahan laju luncuran tanah menuruni lereng. Pencemaran udara dan
perairan terutama yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan, pengolahan serta
transportasi batu gamping. Seluruh kegiatan tersebut dapat menghasilkan debu
dan meninggaktkan kebisingan. Sedangkan pencemaran badan perairan lebih terkait
dengan adanya erosi yang membawa banyak partikel tanah pada badan perairan
sekitar lokasi pertambangan.
Aktifitas
pertambangan juga menyebabkan perubahan bentang alam. Kegiatan penebangan
vegetasi, pengupasan tanah tertutup, pengalian batu gamping, penimbunan tanah
tertutup dan pembangunan sarana penunjang pertambangan sangat potensial untuk
mengubah daerah yang tadinya bukit berubah menjadi cekungan dan atau
sebaliknya. Padahal bukit karst sebagai
zona epikarst diketahui merupakan penyimpan air dan regulator
utama sistem hidrologis kawasan karst. Melalui diaklas dan rongga-rongga
hasil pelarutan beserta endapan isian yang mengisinya, bukit karst dan zona
epikarst secara umum telah menjadikan batugamping yang relatif kedap air
menjadi penyimpan air yang sangat potensial. Kemampuan bukit karst dan zona
epikarst pada umumnya telah mampu menyimpan tiga hingga empat bulan setelah
berakhirnya musim penghujan, sehingga sebagian besar sungai bawah tanah dan mata air mengalir sepanjang
tahun dengan kualitas air yang baik. Dengan demikian penambangan bukit gamping
di kawasan karst mutlak haruslah memperhatikan fungsi tersebut. Bukit karst
memiliki arti penting sebagai zona penyimpanan air sekaligus sebagai
penyimpanan karbondioksida (Haryono, 2001;13, Yansui.et al. 2008;352, Sarwono, 2001;127).
Aktifitas
pertambangan di gunung Sadeng yang sudah berjalan sejak lama mengakibatkan
perubahan bentuk lahan. Lahan yang semula tertutup vegetasi sekarang berubah
menjadi lahan berbatu tanpa adanya
vegetasi. Selain itu tingkat kesuburan
tanahnya yang berbeda tiap lereng. Kandungan bahan organik di dalam tanah
sangat berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang
selanjutnya berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah. Salah satu komponen
utama penyusun bahan organik adalah unsur karbon, sehingga pengetahuan akan
kandungan karbon di dalam tanah dapat memberikan informasi akan tingkat
kesuburan tanah. Karbon adalah komponen utama dari bahan organik. Senyawa
karbon atau biasa dikenal dengan senyawa organik adalah suatu senyawa yang
unsur-unsur penyusunnya terdiri dari atom karbon dan atom-atom hydrogen,
oksigen, nitrogen, sulfur, halogen, atau fosfor. Pengukuran C-organik secara
tidak langsung dapat menentukan bahan organik (Cahya, 2011;50).
Dilihat
secara keseluruhan kandungan C kedua lereng barat dan timur di Gunung
Sadeng termasuk tinggi, namun jika
dirata – rata untuk kandungan C terbaik pada kawasan lereng barat yaitu
sebanyak 3,603 %
sedangkan pada lereng timur kandungan C sebanyak 3,2787%. Perbedaan kandungan C pada
lereng barat dapat disebabkan karena di kawasan tersebut belum
pernah diusik utamanya oleh aktifitas manusia. Berbeda dengan lereng timur yang
dahulunya ada aktifitas manusia yaitu penambangan sehingga lapisan atas tanah (top soil) yang banyak mengandung C
hilang sehingga berdampak pada ketersediaan C dalam tanah (Cahya, 2011;50).
Sebagai
wilayah di permukaan bumi, kawasan Gunung Sadeng Kecamatan Puger Kabupaten
Jember memberikan ruang bagi manusia, untuk melakukan aktivitas pertambangan.
Sedangkan dampak yang menimpa lingkungan biotik dan abiotik kawasan Gunung
Sadeng adalah bentuk dari hubungan timbal balik yang terjadi dan atau
diakibatkan oleh fenomena (penambangan) geosfer yang ada di permukaan bumi.
Memperhatikan permasalahan tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui karakteristik pertambangan kapur di Gunung Sadeng Kecamatan Puger
Kabupaten Jember, mengetahui potensi kerusakan lahan karst akibat aktivitas
pertambangan di Gunung Sadeng Kecamatan Puger Kabupaten Jember, dan untuk
mengetahui sikap masyarakat terhadap menjaga ekosistem lahan karst di Gunung
Sadeng Kecamatan Puger Kabupaten Jember.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di perbukitan karst Gunung
Sadeng yang sekelilingnya telah dilakukan
penambangan lengkap dengan pabrik semen yang memanfaatkan hasil penambangan
tersebut. Secara administrasi lokasi di Kecamatan Puger Kabupaten Jawa
Timur. Analisa laboratorium terhadap
sampel tanah dari Gunung Sadeng dilaksanakan di laboratorium Jurusan Pendidikan
Geografi dan laboratorium Jurusan Pendidikan Biologi Universitas Negeri
Surabaya. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 sampai dengan Maret
2013 yang masuk dalam musim penghujan.
Metode
utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survai. Metode
penelitian survai bertujuan untuk mengumpulkan sejumlah besar data berupa
variabel, unit, atau individu. Data yang dikumpulkan melalui individu dan
sampel fisis tertentu yang bertujuan agar dapat digeneralisasikan terhadap apa yang
diteliti (Arinkunto, 1996;56). Dalaman analisisnya penelitian ini menggunakan
pendekatan deskriptif kuantitatif berupa penjelasan-penjelasan tentang masalah
untuk mencari kesimpulan. Data yang bersifat deskriptif kuantitatif berupa
angka-angka hasil perhitungan maupun pengukuran.
Subyek
penelitian ini adalah lahan dan masyarakat wilayah Gunung Sadeng Kecamatan
Puger Kabupaten Jember. Pengambilan sample lahan secara purporsif. Purporsif
adalah sampel yang dipilih secara cermat dengan mengambil orang atau obyek
penelitian yang selektif dan mempunyai ciri-ciri yang spesifik (Tika, 2005;41).
Sampel lahan
yang diambil dalam penelitian ini adalah dengan ciri spesifik berdasarkan
tingkat lereng dan ketinggian di atas permukaan laut. Gunung Sadeng merupakan daerah
yang memiliki kelerengan yang beragam. Keberagaman ini yang digunakan untuk
menentukan pembagian daerah menentukan sampel lahan. Berdasarkan ketinggiannya,
tiap lereng dibagi menjadi 3, yaitu lereng daerah atas, daerah tengah, dan
daerah bawah. Lereng daerah atas diambil
pada posisi ketinggian lebih dari 100 m dpl, lereng bagian tengah pada posisi
ketinggian 75 – 100 m dpl, lereng bagian bawah dengan ketinggian kurang dari 75
m dpl. Lokasi pengambilan sampel lahan ditentukan dengan membuat titik pengambilan
sampel sebanyak 8 tempat tiap ketinggian lereng. Jadi jumlah sampel lahan dalam
pelenitian ini sebanyak 24 titik.
Sumber data dalam penelitian ini menggunakan sumber data
primer dan sekunder.
Data sekunder diperoleh melalui studi analisa data, arsip, buku serta bentuk
dokumentasi lain yang dimiliki oleh instansi yang terkait dengan penelitian
ini, diantaranya tata guna lahan kabupaten jember diperoleh dari Badan
Pemerintah Daerah (BAPEDA) Kabupaten Jember, pertambangan kapur diperoleh dari
Dinas Perindustrian dan Perdangan (DISPERINDAG) Kabupatn Jember, peta rupa bumi
skala 1:25.000 (lembar Peta Puger,
sheet1607 – 524, Bakosurtanal,
2006), citra google earth tahun 2012,
data curah hujan tahun 2003 sampai 2009, diperoleh dari dinas PU Pengairan
Kabupaten Jember. Data primer diperoleh dengan melakukan pengukuran
kondisi ekologis lahan karst dengan indikator luas singkapan batuan, kerapatan
tajuk, ketebalan tanah, kemiringan lereng, kandungan lengas tanah dan bahan
organik tanah. Selain itu melakukan wawancara dengan responden untuk mencari
data tentang karakteristik pertambangan kapur dan sikap masyarakat terhadap fungsi
ekologis lahan karst di Gunung Sadeng.
Untuk mengetahui
karakteristik pertambangan kapur di Gunung Sadeng digunakan tekik analissis deskripsi kuantitatif yang
meliputi jumlah kapur yang ditambabg, jumlah penambang kapur dan metode
pertambangan kapur. Hasil data tersebut yang kemudian digunakan sebagai
parameter tingkat aktivitas pertambangan.
Untuk
mengetahui potensi kerusakan lahan karst tiap unit analisis di Gunung Sadeng
digunakan metode deskriptif kuantitatif dengan menginterpretasikan hasil
pengukuran skor tiap variabel yang meliputi luas kerapatan tajuk dengan nilai 0
– 20 % masuk dalam skor 3, nilai 20 – 40% termasuk dalam skor 2 dan nilai >
40(%) masuk dalam skor 1, luas singkapan batuan dengan nilai >80(%) masuk
dalam skor 3, nilai 60 – 80(%) masuk dalam skor 2 dan nilai 0 – 60 (%) masuk
dalam skor 1. Untuk kemiringan lereng dengan nilai >25 (˚) masuk dalam skor 3,
nilai 15 – 25 (˚) masuk dalam skor 2 dan nilai 0 -15 (˚) masuk dalam skor 1, ketebalan
tanah dengan nilai 0 – 5 (cm) masuk dalam skor 3, nilai 5 – 15(cm) masuk dalam
skor 2 dan nilai >15(cm) masuk dalam skor 1. Kandungan lengas tanah dengan
nilai <33 (gr) masuk dalam skor 3, nilai 33 – 66 (gr) masuk dalam skor 2 dan
nilai >66 (gr) masuk dalam skor 1, dan kandungan bahan organik tanah dengan
nilai <33 (gr) masuk dalam skor 3, nilai 33 – 66 (gr) masuk dalam skor 2 dan
nilai >66 (gr) masuk dalam skor 1. Hasil penghitungan skor tiap
variabel kemudian dijumlahkan, untuk
penghitungan skor tiap variabel disajikan pada tabel 1.
Tabel
1. Penghitungan Skor Tiap Variabel
No
|
Variabel
|
Skor
|
||
1
|
Luas
singkapan batuan (%)
|
3
|
2
|
1
|
2
|
Ketebalan
tanah (cm)
|
3
|
2
|
1
|
3
|
Kerapatan
tajuk (%)
|
3
|
2
|
1
|
4
|
Kemiringan
lereng (°)
|
3
|
2
|
1
|
5
|
Lengas
Tanah (gr)
|
3
|
2
|
1
|
6
|
Bahan
Organik Tanah (gr)
|
3
|
2
|
1
|
Jumlah
|
18
|
12
|
6
|
Sumber
: penghitungan skor tiap variabel
Untuk
mengetahui klasifikasi potensi kerusakan lahan karst dilakukan langkah
perhitungan sebagaiberikut:
rentang : skor maksimal – skor minimal
: 18 – 6 = 12
banyak
kelas (k): 3 (ditentukan oleh peneliti)
p
(panjang kelas): Rentang/banyak kelas
: 12/3 = 4
nilai ujung bawah kelas interval : 4.
Dari perhitungan seperti diatas diperoleh
klasifikasi potensi kerusakan lahan karst di Gunung Sadeng yang disajikan pada
tabel 2.
Tabel
2. Klasifikasi Poteni Kerusakan Lahan Karst
Klasifikasi
|
Skor
|
Tinggi
|
14
- 18
|
Sedang
|
9
- 13
|
Rendah
|
4
- 8
|
Sumber
:Perhitungan Klasifikasi Skor
Untuk mengetahui sikap masyarakat dalam menjaga ekosistem
lahan karst yang digambarkan pada tabel 3.2 kemudian dibuat kelas-kelas
digunakan analisis skoring. Untuk mengetahui nilai sikap dilakukan langkah
perhitungan sebagai berikut.
Skor maksimal :
5 x 14 = 70
Skor minimal :
1 x 14 = 14
Rentang :skor maksimal–
skor minimal
: 70 – 14 = 56
banyak kelas (k) : 5
(ditentukan oleh peneliti)
p (panjang
kelas) : Rentang/banyak kelas
:
56/5 = 11,2 (11)
Nilai
ujung bawah kelas interval : 14 (nilai terendah)
Dari perhitungan seperti di atas diperoleh
klasifikasi sikap masyarakat dalam menjaga ekosistem lahan karst yang skornya
dapat dilihat pada tabel 3.5.
Tabel 3.5. Klasifikasi Sikap Masyarakat
Klasifikasi
|
Sikap
|
Skor Sikap
Masyarakat
|
1
|
Sangat Tidak setuju
|
14 – 24
|
2
|
Tidak Setuju
|
25 – 36
|
3
|
Tidak Tahu
|
37 – 48
|
4
|
Setuju
|
49 - 60
|
5
|
Sangat Setuju
|
61 - 72
|
Sumber: perhitungan skor sikap masyarakat
HASIL
PENELITIAN
Karakteristik Pertambangan Kapur Gunung Sadeng
Pertambangan di Gunung Sadeng Kecamatan Puger yang terdapat di 4 desa yaitu Desa
Grenden, Puger Kulon, Puger Wetan dan Kasiyan berjarak kurang lebih 38 km dari
pusat Kota Jember. Komposisi
kimia batu kapur ini adalah CaO, SiO2, Al2O3,
FeO3, MgO, Na2O, dan H2O. Batu kapur ini dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku industri oksidasi untuk memproduksi ethilene, kapur tohor (CaO), serta bahan baku industri kimia untuk
memproduksi pupuk, bubuk pembersih, insektisida, fungisida, bahan pengisi (filler), cat, semen, bahan pemantap
tanah (Anonim, 2011).
Proses penambangan dimulai dari penentuan lokasi yang akan ditambang,
kemudian dilakukan pengeboran maksimal sembilan lubang tiap pengeboran. Alat
yang digunakan adalah blasing mesin.
Pengeboran dengan kedalaman enam sampai sepuluh meter dengan diameter lubang
sekitar empat inci. Setelah dilakukan pengeboran kemudian ditanam bahan
peledak. Setelah itu diledakan untuk memperoleh batu kapur (Data Primer, 2013).
Ada 9 perusahaan yang terdaftar dalam Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kabupaten Jember yang mempunyai ijin pertambangan. Perusahaan pertambangan
tersebut adalah CV Sari Hutan, CV Mada Karya, PT USPRI, PT Pertama, CV Formitra, CV Kemuning, CV Indomile I, CV Indomile II dan CV Widya Utama. Masing-masing
perusahaan memiliki hak luas area penambangan yang berbeda-beda. Hal ini
memberikan konsekwensi jumlah kapur yang ditambang dan jumlah penambang setiap
perusahaan juga berbeda-beda. Semua perusahaan dalam proses penambangan yang
telah memanfaatkan metode pengeboman
dengan alat modern untuk mempermudah pengambilan batu kapur dengan jumlah yang besar sehingga tercapai efisiensi. Karakteristik perusahaan petambangan di Gunung Sadeng akan disajikan pada
tabel 4. dan jumlah tenaga kerja
dari empat desa di Kecamatan Puger disajikan pada tabel 5.
Tabel 4. Jumlah Kapur yang Ditambang di Gunung Sadeng
No
|
Nama
Perusahaan
|
Jumlah
kapur yang ditambang
(ton per tahun)
|
1
|
CV.
SARI HUTAN
|
6.597
|
2
|
CV.
MADA KARYA
|
28.623
|
3
|
PT.
USPRI
|
37.935
|
4
|
PT.
PERTAMA
|
62.150
|
5
|
CV.
FORMITRA
|
5.000
|
6
|
CV.
KEMUNING
|
8.464
|
7
|
CV.
INDOLIME I
|
9.313
|
8
|
CV.
INDOLIME II
|
401
|
9
|
CV.
WIDYA UTAMA
|
1.248
|
10
|
PT.
SEMEN PUGER JAYA
|
540.000
|
Jumlah
|
699.731
|
Sumber
: (ESDM. 2012, wawancara 2013)
Tabel 5. Jumlah Penambang Kapur di 4 Desa
No
|
Asal
Penambang
|
Jumlah (orang)
|
1
|
Grenden
|
98
|
2
|
Kasiyan
|
19
|
3
|
Puger Kulon
|
22
|
4
|
Puger Wetan
|
36
|
Jumlah
|
175
|
Sumber
: Wawancara 2013
Dari hasil tabel 4
menunjukkan jumlah kapur yang ditambang tiap perusahaan berbeda. PT Pertama merupakan
perusahaan yang produksi tambangnya paling besar yaitu 62.150 ton per tahun.
Untuk perusahaan dengan kapasitas produksi tambang terkecil adalah cv Indolime
II dengan kapasitas 401 ton per tahun. Total produksi tambang di Gunung Sadeng
adalah 699.731 ton per tahun. Secara umum usaha pertambangan sebesar itu
tentunya memiliki dampak lingkungan yang sangat berarti.
Penambangan di wilayah
karst dengan
metode peledakan untuk mengambil batu
gamping mulai
dari permukaan tanah hingga
mencapai lapisan zona vadose. Permukaan tanah sampai zona vadose memiliki arti penting bagi ekologi.
Secara otomatis peledakan dan pengerukan hancuran batuan akan merusak
keseluruhan permukaan tanah sehingga vegetasi dan kehidupan fauna akan musnah.
Musnahnya tumbuhan dan hewan ini merupakan bentuk kehancuran lingkungan. Penelitian yang dilakukan oleh Risyanto et al,
(2001) menyebutkan dampak negatif terhadap lingkungan akibat penambangan
dolomit meliputi perubahan relief, ketidakstabilan lereng, kerusakan tanah, terjadinya
perubahan tata air permukaan dan bawah permukaan, hilangnya vegetasi penutup,
perubahan flora dan fauna, meningkatnya kadar debu dan kebisingan (Budiyanto,
20012;1).
Zona vadose meliputi bukit
gamping dengan ketinggian rata-rata dari wilayah sekitarnya. Zona ini merupakan zona tandon air tanah di karst. Penambangan bukit karst akan menghilangkan zona vadose
yang sangat penting bagi ketersediaan air.
Hilangnya zona vadose ini akan berpotensi mematikan imbuhan air ke dalam
lorong-lorong konduit atau sungai-sungai bawah tanah. Air tidak dapat
teresapkan ke dalam jaringan sungai bawah tanah melalui zona ini. Air akan melimpas di permukaan sehingga menimbulkan
erosi dan banjir. Akibatnya adalah hilangya sungai bawah tanah, matinya mata air di
kawasan karst, serta potensi bencana banjir pada saat hujan dan kekeringan saat
kemarau. Aktivitas pertambangan yang intensif di lereng gunung Sadeng berdampak pada besarnya penggunaan lahan karst
disana. Aktivitas pertambangan
tersebut berdampak pada kerusakan struktur tanah. Perubahan lahan yang
tertutup vegetasi menjadi area
pertambangan menjadi penyebab terjadinya
accelarate erosion (erosi
dipercepat). Besarnya aktivitas manusia di area pertambangan menyebabkan
berkurangnya sifat dan fungsi tanah sebagai sumber hara dan tempat
berjangkarnya akar tanaman serta tempat penyimpanan air tanah. Aktivitas
tersebut mengganggu keseimbangan antara proses pembentukan dan pengangkutan
tanah.
Hilangnya
vegetaasi penutup tanah menyebabkan tanah mudah tererosi, butir-butir tanah
yang terlepas terangkut ke dalam pori-pori tanah sehingga tanah menjadi kedap
air dan udara. Kondisi ini kemudian akan mengakibkan berkurangnya kapasitas
infiltrasi tanah, sehingga laju aliran permukaan meningkat dan menyebabkan
resiko erosi yang lebih besar.
Potensi Kerusakan Lahan Karst
Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel
Gunung Sadeng merupakan daerah yang memiliki kelerengan
yang beragam. Keberagaman ini yang digunakan untuk menentukan pembagian daerah
pengambilan contoh tanah, luas
singkapan batuan, kemiringan lereng dan ketebalan tanah yang ada di
daerah Gunung. Penentuan lokasi pembagian lereng dengan menentukan titik
menggunakan GPS sebagai tanda batas dalam pembagian lereng yang disajikan pada
gambar 1.
Gambar 1. Peta Unit Analisis dan Pengambilan Sampel Tanah.
Gambar
1. di atas menunjukkan titik koordinat penentuan lokasi pengambilan contoh
tanah dan pembatas antar lereng di Gunung Sadeng. Pembagian lereng ditentukan
berdasarkan ketinggian tempat. Lereng daerah atas diambil pada posisi ketinggian
lebih dari 100 m dpl, lereng bagian tengah pada posisi ketinggian 75 – 100 m
dpl, lereng bagian bawah dengan ketinggian antara 50 - 75 m dpl. Berdasarkan
data di atas dapat dibuat peta sebaran titik pengambilan contoh tanah dan
pembagian lereng berdasarkan ketinggian tempat.
Kemiringan Lereng
Gunung Sadeng merupakan daerah yang memiliki kelerengan
yang beragam. Kondisi topografi
landai, agak curam dan curam mendominasi tiap satuan unit analisis.
Pengukuran kemiringan lereng dilakukan dengan membuat peta lereng. Dari
penghitungan data atribut peta kemiringan lereng kemudian diklasifikasikan
menurut modifikasi (Yansui,et al.,2008;352)
dengan pengelompokan lereng 0 – 15˚atau skor 1, 15˚ - 25˚atau skor 2 dan
>25˚ atau skor 3.untuk penggukuran kmiringan lereng satuan derajat (˚)
dirubah menjadi persen (%) sehingga pengelompokan kemiringan lereng menjadi 0 –
33,33% atau skor 1, 33,34 – 55,55% atau skor 2 dan >55,55% atau skor 3.
Hasil rata-rata kemiringan lereng diklasifikasikan menurut luas areanya. Rata –
rata kemiringan lereng di gunung Sadeng termasuk dalam skor 1 atau 0 – 33,33%. Untuk hasil penghitungan kemiringan lereng disajikan dalam tabel 6
dan peta kemiringan lereng di gunung Sadeng disajikan pada gambar 2.
Tabel 6. Kemiringan Lereng
No
|
Unit Analisis
|
Skor Rata-rata Kemiringan
Lereng (%)
|
Skor
|
1
|
Lereng Atas
|
0.00085
|
1
|
2
|
Lereng Tengah
|
0.00082
|
1
|
3
|
Lereng Bawah
|
0.00080
|
1
|
Sumber: Data Primer 2013
Gambar 2 Peta Kemiringan Lereng
Bahan Organik Tanah
Kandungan bahan organik di dalam tanah sangat berpengaruh
terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang selanjutnya berpengaruh
terhadap tingkat kesuburan tanah. Bahan organik
merupakan kumpulan beragam
senyawa-senyawa organik kompleks yang
sedang atau telah mengalami proses deskomposisi, baik berupa humus hasil
humusifikasi maupun senyawa-senyawa anorganikhasil mineralisasi dan termasuk
juga mikroba heterotrofik dan ototrofik yang terlibat dan berada di dalamnya. Metode yang digunakan dalam
mengukur kandungan bahan organik tanah adalah metode pembakaran. Langkahnya
adalah menimbang tanah alami 5 gr sehingga diketahui berat awal (a gr).
Selanjutnya tanah diletakkan
pada cawan, dibasahi spertus, dan dibakar. Tanah sisa pembakaran setelah
dibersihkan abunya ditimbang kembali (b gr). Bahan organik ditepatkan dengan rumus BO (%) = (b-a)100/a. Dari
hasil penelitian menunjukan
kandungan bahan organik tanah di Gunung Sadeng disajikan dalam tabel 10
Tabel
10. Kandungan Bahan Organik Tanah di Gunung Sadeng
No
|
Unit Analisis
|
Rata-rata
Lengas Tanah (%)
|
Skor
|
1
|
Lereng Atas
|
22,92
|
3
|
2
|
Lereng Tengah
|
24,95
|
3
|
3
|
Lereng Bawah
|
21.27
|
3
|
Sumber
: Data Primer 2013
Kerapatan Tajuk
Dalam penelitian ini analisis vegetasi berfokus pada
kerapatan tajuk di daerah penelitian. Kerapatan tajuk diukur sebagai persentase
dari total luas area yang tertutup vegetasi dibagi dengan luas area gunung
Sadeng. Kerapatan tajuk diukur dengan menganalisis peta dengan arcview. Dari hasil pengolahan data yang bersumber dari google
earth tahun 2012 yang diolah dengan
mengguanakan program arcviem diperoleh
luas kerapatan tajuk disajikan
pada tabel 11 dan gambar 3.
Tabel 11. Kerapatan Tajuk di Gunung Sadeng
No
|
Unit Analisis
|
Kerapatan Tajuk (%)
|
Skor
|
1
|
Lereng Atas
|
12,55
|
3
|
2
|
Lereng Tengah
|
14,71
|
3
|
3
|
Lereng Bawah
|
38,76
|
2
|
Sumber : Data Primer 2013
Gambar 3. Kanampakan Permukaan Gunung
Sadeng.
Dari hasil pengukuran lapangan dan analisis data yang telah diuraikan
diatas, maka di peroleh hasil skor tiap variabel berdasarkan unit analisis
yaitu lereng atas, lereng tengah dan lereng bawah Gunung Sadeng yang dapat mewakili tiap unit
analisis. Jumlah skor tiap variabel pada lereng atas berjumlah 14, lereng tengah
berjumlah 14 dan lereng bawah berjumlah 12. Dari penghitungan jumlah skor tiap
variabl diperoleh klasifikasi pada lereng atas dan lereng lereng tengah yang
tergolong tinggi dan lereng bawah yang tergolong sedang.
Sikap Masyarakat
Pengetahuan masyarakat tentang ekosistem lahan karst
merupakan gambaran kondisi ideal lingkungan yang diingginkan. Untuk mengtahui
informasi mengenai pengetahuan masyarakat ekosistem lahan karst dan
keterbilatan mereka dalam menjaga ekosistem lahan karst dilakukan kuesioner
terhadap masyarakat yang mempunyai aktivitas di gunung Sadeng.. Sikap masyarakat dalam menjaga ekosistem lahan karst merupakan salah satu
indikator untuk pengukuran kerusakan lahan karst. Faktor manusia menjadi salah
satu penentu keberlangsungan ekologi suatu kawasan. Pengetahuan dan dukungan
masyarakat sekitar merupakan tolak ukur yang dapat dijadikan untuk melihat
sejauh mana masyarakat berperan aktif dalam pelestarian kawasan karst Gunung
Sadeng. Hasil pengukuran sikap masyarakat di Gunung Sadeng dalam menjaga ekosistem lahan karst ada 19 orang yang setuju atau bersikap positif
dalam menjaga ekosistem lahan karst dan ada 11 orang yang tidak tahu atau
bersikap netral dalam menjaga ekosistem lahan karst.
PEMBAHASAN
Gunung Sadeng di Kecamatan Puger, Kabupaten Jember
merupakan punggung bukit karst yang landai sampai curam menengah dengan nilai 0 - 15%
dengan material batu gamping pada daerah tipe iklim F kering. Saat ini wilayah Gunung Sadeng dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar
dan pemerintah Kabupaten Jember untuk pertambangan kapur. Secara umum
pertambangan kapur mengakibatkan kerusakan lingkungan. Padahal bukit kapur
memiliki arti ekologis bagi kehidupan masyarakat sekitarnya.
Aktivitas pertamabangan di Gunung Sadeng memberikan nilai ekonomi secara
langsung kepada masyarakat sekitar dan pemerintah pusat. Berdasarkan hasil
observasi menunjukan ada 175 penambang yang berasal dari empat desa di sekitar
Gunung Sadeng. Selain itu adanya aktivitas pertambangan juga memberikan peluang bagi
masyarakat untuk membuka lapangan pekerjaan baru seperti membuka warung dan bengkel
sepeda. Ini terbukti dari adanya warung dan bengkel di sekitar daerah
penelitian. Ada 3 warung dan 2 bengkel sepeda yang ditemui peneliti ketika
melakukan pnelitian.
Penambangan di lahan
karst akan
berdampak pada perubahan ekosistemnya. Secara
fisik memiliki dampak terhadap perubahan morfologi dengan konsekuensi lebih
lanjut akan menganggu tata guna air. Menurut Adji (2005:6) dampak dari aktivitas pertambangan di di
kawasan karst adalah terjadi degradasi jumlah air yang tersimpan sebagai
komponen rembesan, peloronggan, dan sungai bawah tanah. Hal ini terjadi
karena hilangnya bukit karst,
mengakibatkan terjadi perubahan perilaku waktu tunda terhadap hujan
puncak pada puncak debit mataair maupun sungai bawah tanah, perubahan komposisi aliran dasar (diffuse flow) dibanding aliran total. Jika permukaan bukit karst
ditambang, maka siklus hidrologi yang ada didalam sistem karst akan terganggu
termasuk fungsi karst sebagai penyerap karbon. Pengkonsumsi karbon dan penyeimbang siklus
karbon yang dapat mereduksi efek rumah kaca dan pemanasan global yang terjadi.
Hasil analisis potensi
kerusakan lahan karst di daerah penelitien, tiap unit analisis yaitu lereng,
menpunyai klasifikasi yang berbeda. Pada lereng atas dan tengah memiliki
potensi kerusakan tinggi, sementara pada lereng bawah potensi kerusakan lahan karst tergolong
sedang. Lereng atas dan tengah yang potensi kerusakan lahannya tinggi, memiliki
karakteristik ketebalan tanah antara 15,12 cm samapai 20,75 cm, kandungan
lengas tanah antara 13,7 % samapai 15,1 %, kandungan bahan organik tanah antara
22,9 % samapai 24,9 %, , luas singkapan batuan antara 3,24007% samapai 6,9%,
rata – rata kemiringan lereng berdasarkan luas area gunung Sadeng antara 0.00082% sampai 0.00085% dan luas kerapatan tajuk antara 12,5%
samapai 14,7%. Lereng bawah yang potensi kerusakan lahannya sedang, memiliki
karakteristik ketebalan tanahnya 16,12 cm, kandungan lengas tanahnya 14,1 %,
kandungan bahan organik tanahnya 21,27%, rata – rata kemiringan lereng
berdasarkan luas area gunung Sadeng antara 0,00080%, luas singkapan batuannya 23,7% samapai,
dan luas kerapatan tajuknya 38,7%. Data tersebut memberi makna besarnya nilai
ekologis lahan karst pada lereng atas, lereng tengah, dan lereng bawah yang
berkembang pada iklim agak kering. Secara umum makna dari data karakteristik
lahan karst di Gunung Sadeng dapat dinyatakan memiliki karakteristik ketebalan
tanah tipis, kandungan lengas tanah rendah, kandungan bahan organik tanah
rendah, kemringan lereng landai sampai curam menengah, luas singkapan batuan
sempit, luas kerapatan tajuk sedang sampai sempit, dan sikap masyarakat akan
fungsi lahan karst tergolong sedang sampai tinggi.
Dari hasil analisis
data yang menyebabkan perbedaan potensi kerusakan pada lereng atas dan tengah
yang tinggi dan lereng bawah yang sedang adalah kemiringan lereng dan kerapatan
tajuk. Perbedaan kerapatan tajuk pada lereng atas dan tengah dengan lereng
bawah kemungkinan disebabkan karena kemiringan tergolong landai, kandungan lengas tanah yang rendah, kandungan
bahan organik tanah tergolong sedang, tekstur tanah berupa geluh berpasir yang
lebih didominasi oleh pasir dengan dominasi antara 61,5% samapai 69,5% (Cahya, 2011;41) dan ketebalan tanah tergolong rendah meskipun
ketebalan tanah pada daerah penelitian tergolong paling tinggi, sehingga
mengakibatkan kesuburan tanahnya rendah dan mengakibatkan vegetasi tidak dapat
hidup. Menurut Anwar, dkk dan Whitten dkk, keberhasilan vegetasi untuk
dapat hidup di bukit kapur sangat ditentukan oleh ketahananya terhadap kadar
kalsium dan magnesium yang agak tinggi. Selanjutnya dijelaskan bahwa
tanah-tanah tipis yang subur dan kaya akan basa, atau permukaan yang kasar,
licin, retak-retak dan dinding - dinding cadas yang terjal merupakan
habitat-habitat yang berbeda dan dapat dihuni oleh tumbuhan yang khas dan endemik bagi bukit kapur tersebut
(Achmad, 2011;41).
Di daerah penelitian,
pada lereng bawah kerapatan tajuk tergolong sedang dengan nilai 38,7 %. Hal ini
dikarenakan lereng bawah yang terletak pada kaki bukit kapur di mana tanahnya
berasal dari bahan induk lain. Tanah ini mendapat pengaruh dari air yang
mengalir dari batu kapur dan pecahan erosi dari batu kapur, sehingga pada
lereng bawah banyak ditumbuhi vegetasi yang lebih beragam dibandingkan lereng
atas dan tengah.
Pada lereng atas
vegetasi yang paling dominan adalah Legum (Lantana Camara) dengan nilai 34,2 % (Cahya, 2011). Sedangkan pada
lereng tengah vegetasi yang dominan adalah Jarak Merah. Pada lereng bawah jenis vegetasinya lebih banyak dari pada lereng atas
dan lereng tengah. Pada lereng bawah terdapat pohon akasia, jati dan lamtoro.
Pada lereng atas dan tengah yang vegetasi yang dominan adalah vegetasi bertajuk rendah, mengakibatkan seresah
yang jatuh dipermukaan tanah lebih
banyak dan lebih mudah terurai karena
jaraknya yang dekat dengan permukaan tanah. Seresah-seresah yang jatuh ke
permukaan tanah mengakibatkan bertambahnya bahan organik pada lereng atas dan
tengah. Ini terbukti dari hasil pengukuran lapangan yang menunjukan kandungan
bahan organik tanah pada lereng atas dan tengah lebih tinggi dari pada lereng
bawah. Sedangkan pada lereng bawah yang dengan kondisi vegetasi yang beragam
dan terdapat vegetasi bertajuk tinggi mengakibatkan kandungan bahan organiknya
lebih rendah. Hal ini dikarenakan tingginya tajuk pohon sehingga daun-daun yang
telah gugur tidak sepenuhnya jatuh pada permukaan tanah disekitarnya. Selain
itu adanya pohon Jati yang daunnya bisa mengering sehingga sulit untuk terurai
dan menjadi bahan organik tanah.
Dari hasil penelitian
yang telah dilakukan, lahan karst di gunung Sadeng kecamatan Puger kabupaten
Jember berpotensi mengalami kerusakan yang diakibatkan aktifitas pertambangan
kapur. Hal ini membawa dampak fisik dan dampak sosial ekonomi terhadap
lingkungan. Dampak fisik lingkungan yaitu
semakin meluasnya singkapan batuan, tipisnya solum tanah, rendahnya
kandungan lengas tanah, polusi suara dan polusi udara.
Kegiatan penambangan
di gunung Sadeng juga mengancam langsung keanekaragaman hayati kawasan karena
penghancuran keanekaragaman secara serempak sebagai akibat peledakan dan
pembongkaran bukit kapur. Secara tidak
langsung kegiatan penambangan mengancam
ekosistem tumbuhan dan hewan di sekitarnya. Ancaman ini berupa polusi udara dan
polusi suara dari alat berat yang digunakan untuk menambang kapur dan pabrik
semen. Debu-debu dari kegiatan pertambangan yang terjadi pada saat peledakan
berpotensi menutupi permukaan daun, sehingga menganggu proses fotosintesis
terutama di musim kemarau, karena tidak ada pencucian oleh air hujan.
Contoh penutupan debu
ke permukaan daun ini dapat dilihat di sekitar pabrik dan pada titik peledakan.
Daun–daun pohon terlihat putih di permukaan atas dan debu-debu ini kemungkinan
akan mengeras seperti semen di awal musim hujan. Jika jumlah air hujan yang
jatuh masih sedikit maka belum mampu melakukan pencucian yang bersih dari daun
tersebut. Efek penutupan daun ini akan menganggu proses fotosintesis pada
tumbuhan yang tercemar, sehingga mempengaruhi produktivitas tumbuhan seperti
pembungaan dan pembuahan dan pada akhirnya akan berdampak pada ketersediaan
pakan satwa (Achmad, 2011:203).
Suara yang dikeluarkan
oleh alat berat akan menggangu fauna yang peka terhadap suara, sehingga
melakukan perpindahan tempat atau migrasi lokal untuk menjauhi sumber suara.
Hal ini akan menyebabkan terganggunya keseimbangan di tempat yang baru dan juga
menyebabkan terganggunya keseimbangan di tempat tersebut akibat persaingan
makanan dan ruang. Migrasi satwa akibat polusi suara ini akan berdampak buruk
pula terhadap habitat yang ditinggalkan, karena mungkin fauna yang berpindah
tersebut mempunyai peranan dalam proses pollinasi
bagi tumbuhan tertentu di tempat asalnya sehingga akan mmpengaruhi proses
regenerasi jenis-jenis tumbuhan di tempat tersebut.
Perubahan ekosistem
daerah karst gunung Sadeng mengakibatkan penurunan fungsi sumber daya alam dan
lingkungan yang ada. Salah satu sebab terjadinya penurunan fungsi sumber daya
alam dan lingkungan adalah aktifitas pertambangan di lahan karst. Bukti adanya
penrunan fungsi sumber daya alam dan lingkungan adalah semakin tipisnya lapisan
tanah, cadangan air berkurang ini terbukti dari sedikitnya kandungan lengas
tanah, jenis tumbuhan dan produktivitas hayati menurun dan timbul lahan kritis.
Dampak sosial ekonomi
yang ditumbulkan dari aktifitas pertambangan karst di gunung Sadeng adalah
penyerapan tenaga kerja, karena sebagian masyarakat bekerja menjadi penambang
kapur dan bekerja di pabrik semen. Hal tersebut juga mengakibatkan daya tarik pendatang
untuk ikut menambang sehingga dapat menimbulkan konflik.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa
aktifitas pertambangan di gunung Sadeng kecamatan Puger kabupaten Jember
terlogong dalam aktifitas pertambangan yang intensif. Luas singkapan batuan,
ketebalan tanah, kerapatan tajuk,
kemiringan lereng, lengas tanah, bahan organik tanah, dan sikap masyarakat,
merupakan variabel lahan karst yang membentuk suatu ekologi, memiliki potensi
mengalami kerusakan akibat pertambangan dengan metode pengeboman. Potensi kerusakan lahan karst di
Gunung Sadeng pada lereng atas dan
lereng tengah tergolong tinggi, sementara pada lereng bawah tergolong rendah.
Kerapatan vegetasi memiliki arti penting dalam membedakan potensi kerusakan tinggi
dengan sedang.
Saran
Kawasan karst gunung Sadeng kecamatan Puger kabupaten
Jember beserta segala potensinya harus dilindungi dan dimanfaatkan secara
berkelanjutan. Perlu dilakukan upaya pemeliharaan kualitas lingkungan untuk
menjaga fungsi ekologis lahan karst di gunung Sadeng. Potensi kerusakan lahan
karst akibat aktifitas pertambangan tergolong tinggi. Aktifitas pertambangan
lahan karst di gunung Sadeng mengakibatkan adanya penurunan fungsi sumber
daya alam dan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2011. Kecamatan Puger Dalam Angka 2011. Jember: Badan Pemerintah Daerah Jember
Adji,
T.N., 2005. Kondisi Daerah Tangkapan Sungai Bawah Tanah Karst Gunungsewu dan
Kemungkinan Dampak Lingkungannya Terhadap Sumberdaya Air (Hidrologis) Karena
Aktivitas Manusia. Kelompok Studi Karst. Fakultas Geografi UGM.
Achmad,
Amran. 2011. Rahasia Ekosistem Hutan Bukit Kapur. Surabaya: Brilian
Internasional.
Cahya, Lazuardi. 2011. Hubungan Tanaman Dominan terhadap Beberapa
Sifat Kimia Tanah pada Dua Zona di Gunung Sadeng Kecamatan Pugerdilaksanakan
diGunung Sadeng Kecamatan Puger. Skripsi yang tidak dipublikasi: UNEJ.
Tika,
Pambudu. 2005. Metode Penelitian Geografi. Jakarta: PT Bumi Aksara
Tidak ada komentar: