Ads Top

Suatu malam, ditemani dingin dan gerimis aku dan kamu bersila di beranda rumah kontrakan. Sembari mendengarkan alunan gitarmu yang bertambah merdu tiap harinya. Sambil menikmati aroma tak sedap yang keluar dari sampah di pojokan. Aku mulai memikirkan banyak hal, tentang banyak rencana dan berkhayal akan masa depan. Betapa asyiknya aku dalam lamunan, gemericik gerimis menambah kesyahduanku untuk semakin larut.
Tiba-tiba kau membuyarkan lamunanku dan bertanya, “apa yang sangat kau rindukan ketika gerimis non?” hah,, seolah tak percaya kau bertanya seperti itu kepadaku, yang kutahu kau sangat asyik dengan diammu dan kadang terlalu kaku untuk bersikap dan berucap. Disisi lain aku mulai berfikir untuk menjawab pertanyaan yang kurasa itu romantis. “Aku merindukan titik nol” jawabku sembari mataku berbinar.
Akhir – akhir ini kepenatan mulai melandaku, rasa lelah yang tak klimaks menguasai tubuhku yang masih berisi pasca melahirkan dua tahun silam. Ditambah perasaan yang mudah tersinggung mengikis rasa syukurku akan segala nikmat yang telah kuterima. 

“Hmm” gumammu sambil tersenyum sangat manis seolah kau tau apa yang sedang aku pikirkan
.” Iya mas, aku rindu berada pada titik nol” jawabku mempertegasnya.
 “iya, sudah lama aku juga tak berada pada titik nol” jawabnya sambil matanya melihat jauh kedepan dan tengelam dalam lamunan. Bagi kami berda pada titik nol adalah masa yang sangat asyik, dan sangat kami butuhkan pada waktu tertentu. Berada pada titik nol adalah salah satu kebutuhan spiritual kami, untuk mengingat kembali siapa kami sesungguhnya.  Mempertegas kami bahwa kami adalah seorang yang menghamba pada kekuatan agung yang mencipkatan semesta. Menyentil kesombongan kami akan keingingan untuk meguasai gemerlap dunia. Kami merindukan nikmatnya bernafas ketika lelah pada klimaks dan ketidak berdayaan atas diri kami yang sering kami dapat ketika melakukan pendakian. Itulah yang sering membuat kami rindu akan naik gunung.

“owek owek owek,,,” tiba-tiba jerit tangis dari balik pintu terdengar nyaring. Dengan sigap aku  memulai peranku menjadi seorang ibu dan kutinggalkan suami di serambi kontrakan seorang diri. Dari dalam kamar kudengar lamat-lamat dia sedang menyanyikan lagu berjudul Huja dari Jangan Asem band.
‘’Aku ingin bernyanyi untukmu kekasih ha..ha...

Aku ingin mendengar suaramu

Dengan hati telanjang aku semedi

Menghadirkanmu lewat getar cinta.”

#30DWC
#30DWCJILID11
#Squad5
#Day3

2 komentar:

  1. asyik banget naik gunung bareng suami,
    kembali ke titik nol bareng-bareng suami dan anak lebih seru kayanya deh :)

    BalasHapus
  2. Sepertinya begitu,belum siap mental ajak si anak.
    Memang asyik naik gunung, apalagi bareng swami,belajarnya dobel2

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.