Ads Top

Berdiri pada "Tepian"



Sore itu di serambi rumah peninggalan orang tuaku, aku duduk menghadap kebun jagung yang siap panen sekitar dua pekan mendatang.
“Mas ini kopinya, mumpung masih panas” ucap istriku sambil terlihat buncit di bagian perutnya. Aku melihatnya dengan seksama, ia terlihat lebih cantik ketika sedang hamil. Aku memandangnya sembari membayangkan seperti apa anak yang akan ia lahirkan 2 bulan mendatang.
“Duduk sini non, temani aku minum kopi”ia menurut. Aku tahu ia sedang tak berbesar hati dengan kondisi saat ini. Ia marah dengan sok beraniku yang menurutnya kelewat batas.
“Kopimu tak senikmat biasanya, mungkin ada komponen yang kurang ketika kau meraciknya” ucapku pembuka pembicaraan sore itu. Menghadapi wanita yang sedang hamil memang butuh kepekaan dan kesabaran. Ia lebih sensitif dari biasanya, konon katanya hormonlah yang menjadi penyebabnya.
Istriku hanya diam dengan sorot matanya yang berbinar. Ia masih menunjukan marahnya, dengan hanya bicara seperlunya. Seperti itulah wanita, terkadang mereka menganggap kaum lelaki maha tahu atas segala sesuatu yang ia rasa dan inginkan.
“Apa yang salah dengan sikapku, aku hanya menjalankan tugasku sebagai seorang manusia”. Ia masih terdiam dalam binarnya. “Dulu kau begitu berani menentang ketidak adilan atas semua ini. Apa yang kua takutkan? “Apa yang salah denganku, aku hanya melakukan sesuatu yang menurutku benar, tanpa ada tendensi apapun”. Segerombol pertanyaan menjadi mediaku untuk mengalirkan rasa dalam hatiku. Aku hanya seorang manusia yang bertahan untuk setia di tepian dan belajar merawat sikap menolak tambang emas Tumpang Pitu.
Sepekan lalu aku menulis surat terbuka untuk para pejabat daerah. Dengan lantang aku membacakanya di depan rumah orang nomor satu di Banyuwangi. Kota dengan sejuta pesona alamnya yang harus menderita karena terberdaya oleh kilau emas yang tak seberapa.
Hatiku geram dengan para pembuat kebijakan yang seolah berpura-pura buta dengan memaksakan hasrat mereka tanpa melihat kenyataan yang ada. Dengan memberikan izin tambang emas di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu maka secara otomatis menciptakan ancaman bagi warga yang hidup di sekitarnya. Tak hanya itu, kerusakan akan ekosistem yang berdampak besar bagi  keseimbangan kehidupan banyak mahkluk hidup dan itu semua tak sebanding dengan emas yang akan di dapatkan.
Gunung Tumpang Pitu adalah aspek keselamatan warga. Gunung yang kakinya langsung bersentuhan dengan pesisir selatan Pulau Jawa ini tak hanya menjadikannya kawasan resapan air, tetapi juga jadi bentang alami bagi warga dari daya rusak tsunami (Bahtiar Rosdi, Tumpang Pitu dan Konstitusi, Terbit.co. 2018)  
“Non, bicaralah padaku tentang apa saja yang kau ingin katakan. Aku tahu teramat sulit untuk berada di sampingku, menemani langkahku setia pada tepian” Sembari kupegang lembut jemarinya. “ayo kita nikmati jalan ini, jalan yang berliku, mendaki, terjal dan sepi ini. Sedikit orang yang memilih melaluinya, tak ada tepuk tangan dan semburan bunga” sambil kukecup lembut tangannya.
Ia menangis sesengukan seperti seorang anak yang ditingal pergi ibunya. Hatiku ngilu melihatnya, bukan karena tangisannya tapi perasaan resah berpishnya seolah terpampang jelas di depanku. Berada di tepian memang sangat beresiko, apalagi lawanmu adalah seorang penguasa yang terbutakan nuraninya. Termakan nafsu oleh gemerlap yang di tawarkan para korporet sang pemilik modal. Sang penguasa yang bersikap seolah Tuhan dengan memaksakan kehendaknya melalui jalan apapun yang akan ditempuh. Tapi aku meyakini bahwa setiap orang tak luput dari hukum alam, seperti istilah ngunduh wohing pekerti (memanen buahnya tingkah laku) ini berlaku untuk kita, tak terkecuali mereka para penguasa yang mengizinkan hutan lindung diubah jadi kawasan tambang emas.
“Seandainya kau tahu apa yang aku rasakan mas, perasaan-perasaan yang kerap menghantuiku tiap detik”ucapnya sembari menarik nafas panjang. “aku berusaha mengerti setiap keadaan dan berdamai dengan perasaanku. Menikmati setiap langkah yang terasa semakin berat dan sesak namun tak berbuah. Terkadang aku ingin menyerah pada keadaan. Aku terlampau takut menghadapi resiko yang akan kita terima. Bayang-bayang pesakitanmu yang tak wajar menghantuiku. Seolah aku tak bisa melihatmu untuk terus berada pada tepian. Tentu kau masih ingat dengan kejadian-kejadian pasca kau suarakan ketidak adilan ini, apalagi tentang kejadian 1 tahun silam” celotehnya sambil matanya menerawang jauh pada kebun jagung yang siap panen.
Kejadian satu tahun silam memang kadang tak bisa diterima oleh logika. Entah apa yang terjadi pada ku dulu. Tubuhku serasa tiba-tiba mati rasa, kakiku tak bisa menjalankan fungsinya secara semestinya, bahkan medis tak mampu mengobservasi secara ilmiah. Yah terkadang ada kejadian yang tak bisa dinalar namun memang benar-benar terjadi. Kejadian yang bebarengan dengan gencaran suaraku akan tolak tambang Emas Tumpang Pitu. Kadang membuatku mencari kambing hitam dan menuduh ada yang sengaja membuatku seperti ini untuk menghentikan langkahku menolak  tambang emas Gunung Tumpang Pitu. Tapi entahlah, langkahku memang berhenti untuk beberapa saat.
Penurunan status hutan lindung  Gunung Tumpang PItu menjadi hutan produksi benar-benar menantang nuraniku untuk terus melawan ketidak adilan. Aku muak dengan keadaanku yang tak bisa berjalan dan lebih muak dengan putusan penurunan status hutan Gunung Tumpang pitu. Aku mencium gelagat tak baik. Kebijakan yang sengaja dibuat untuk memuluskan rencana eksploitasi emas di hutan Gunung Tumpang Pitu. Hutan Gunung Tumpang Pitu yang awalnya berfungsi sebagai kawasan lindung, kawasan resapan air, dan kawasan penyangga kehidupan akan diubah fungsinya menjadi kawasn tambang yang justru mengancam air, mengancam pertanian, mengancam pariwisata, juga mengancam sumber-sumber kekayaan alam hayati lainnya yang dibutuhkan warga sekitar untuk melanjutkan hidup.
Sambil kubelai rambutnya aku mulai meyakinkan dirinya, yang sebenarnya aku sedang meyakinkanku diri sendiri atas sikpa yang telah aku ambil. “Aku tahu non, atas segala resiko yang mungkin saja terjadi. Yang menimpaku setahun silam tak ada apa-apanya dibandingkan teman-teman lainnya yang entah hilang kemana. Mungkin saja mereka dalam ketakutan dan diancam atau bahkan sengaja dihilangkan dan itu sangat mungkin aku alami. Tapi bagaimanapun harus ada yang menyusrakan non. Kelak ketikaTuhan meminta pertangung jawaban atas hidup kita di muka bumi, dengan bangga aku bisa menjawabnya. “Tuhan aku sudah berjuang”. Aku sangat mengerti atas kegelisahan yang sedang kau alami. Ketika kita berjodoh, aku yakin kau adalah wanita kuat yang siap menompangku dikala lemah. Yang selalu sabar menemaniku dalam jalan yang bernama advokasi”
“hmmmm” gumamnya. “Terkadang aku juga bertanya-tanya mengapa aku mau menerimamu dan memilih menemamimu dalam tepian mas. Entahlah, kenapa kita memilih jalan yang sedikit orang memilihnya. Entahlah...” sembari mengusap sisa air matanya.
“kau memang wanita hebat non, yang mampu berdiri di belakang lelaki perkasa macam aku” candaku sambil kucubit lembut pipinya.
Masih senyuman kecut yang aku dapatkan, tapi tak apalah setidaknya aliran rasa kita tersalurkan dan ini menjadi bekal untuk kita melangkah. Siang akan berganti malam, pancaran kuning sinar matahari semakin memerah, pertanda ia akan segera kembali menuju peraduannya dan itu terlihat apik dari balik kebun jagung. Orang-orang sering menyebutnya candi olo. Menurut mitos orang-orang Jawa, candi olo adalah masa dimana manusia berhenti dari aktivitas keduniaan. Menurut keyakian masyarakat jawa akan berdampak negatif terhadap aktivitas tersebut bila dilakukan. Jika dilihat secara logika, masa itu adalah masa peralihan suhu udara secara drastis dari panas (siang) menuju dingin (malam). Dari masa perubahan inilah keadaan suhu udara sedang tidak baik. Kadang membuat tubuh sebagian orang merasakan tidak nyaman akan perubahan tersebut. Sebenarnya nenek moyang kita sudah banyak menitipkan wejagan lewat mitos-mitos mereka. Ada banyak masyarakat yang masih memengah teguh wejangan tersebut yang kemudian terbudidaya menjadi sebuah kearifan lokal. Namun seiring berjalannyanya waktu banyak dari kita yang menjadi orang pintar baru yang mematahkan mitos-mitos tersebut. Seperti halnya penambangan emas di Tumpang Pitu yang konon beredar mitos akan keangkeran dan mendapat sial ketika mengambil emas yang terkandung di dalamnya.
Langit semakin gelap, kami menghabiskan malam yang terasa dingin bersama. Kebun jagung depan rumah seolah menambah pekat malam ini. Kami larut dalam kenikmatan berbalut seprai bernuansa merah jambu. Setelah sepekan ini urat dan saraf kami berpacu dalam keteganggan. Malam ini mengingatkanku akan Pantai Merubetiri. Malam yang pernah kuhabiskan untuk melihat proses kehidupan baru. Ketika sang penyu melepaskan telurnya di tempat teraman sepanjang pantai Merubetiri. Aku mulai membayangkan akan keresahanku. Pantai nan cantik itu dengan Penyu sebagai daya pikatnya akan tercemar oleh aktifitas tambang emas.
Adzan subuh berkumandang terdengar sayup pada telinga dengan setengah sadar. Kulihat istriku sudah tak ada di sebelahku. Seperti biasanya, dia bangun lebih awal dari ku. Dia memulai rutinitas sebagai ibu rumah tangga. Pagi itu sudah ada kopi yang masih mengepul dan beraroma nikmat. Disebelahnya ada sepiring pisang goreng yang berwarna agak kecoklatan. Hari ini adalah hari ke sembilan setelah aksiku. Tak ada reaksi apapun atas diriku. Tak ada respon apapun dari si penerima surat cintaku.
Segera kunikmati kopi panas sebagai penghangat tubuhku pagi itu. Istriku duduk di sebelahku, ini adalah rutinitas pagi kami yang terasa manis dan romantis. Tiba-tiba terdengar ketukan dari balik pintu. Kami terperanjat, dengan singap aku menuju ruang tamu dan kubuka pintu. Dalam benakku bertanya-tanya siapa tamu datang sedini ini.
Kulihat ada 4 lelaki berpenambilan gagah dengan berbalut jaket hitam. Dua diantaranya berkumis tebal dan bertubuh kekar. Dengan sopan aku bertanya, “ada yang bisa dibantu pak?” dengan sigap mereka mulai membegukku dan memborgol tanganku. “loo pak, ada apa ini, bapak tak bisa berbuat seperti ini.”teriakku sambil melakukan perlawanan. Anda kami tahan, dengan tuduhan menyebar kebencian. (bersambung).


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.