Arjuna Namaku
Entah setan apa yang sedang merasukiku, aku seperti terkena penyakit rindu akan ketiggian. Aku keranjingan untuk mendaki gunung. Ada gejolak yang memanas dalam jiwaku, seakan semangatku tersulut kobaran api ketika aku mendaki.
Bulan Januari tahun lalu, aku melakukan perjalanan seorang diri menuju gunung Welirang. Gunung yang tak pernah sepi, karena adanya aktivitas pertambangan belerang secara tradisional oleh masyarakat sekitar. Namun berbeda kala itu, tak ada aktifitas yang dilakukan penambang ataupun pendaki. Adanya larangan dari petugas Tahura R. Soerdjo dikarenakan terjadi badai. Januari memang bulan dengan curah hujan yang cukup tinggi, sehinga dikenal dengan istilah hujan sehari-hari mungkin itulah pemicu badai yang terjadi di Welirang.
Sebelumnya aku tak tahu akan aturan yang ada, aku terbutakan oleh nafsu sehingga tak mencari informasi yang terpercaya. Padahal dalam sebuah perjalanan atau pendakian, informasi akan tempat tujan adalah bekal utama sebelum berpetualang. Ah betapa bodohnya aku sesalku dalam hati.
Ketika aku sampai di pos perijinan, petugas setempat mengatakan bahwa gunung sedang di tutup karena ada badai, kegiatan apapun tak diijinkan. "Siapa yang bisa menutup gunung", ujarku dengan sombong dalam hati. Tapi aku hanya diam seolah menerima aturan yang ditetapkan sambil merencanakan cara untuk bisa masuk kawasan tersebut. Dengan langkah gontai sambil menikmati sebatang rokok aku meninggalkan pos perijinan menuju warung kopi beratap terpal biru.
Hari itu menjelang magrib, sudah tak ada angkutan umum yang bisa membawaku menuju Pandaan dan melanjutkan perjalanan ke Surabaya. Sambil menikmati secangkir kopi, aku mulai mencari informasi menuju gunung Welirang tanpa harus melalui pos perijinan.
Aku duduk bersebelahan dengan seorang lelaki separuh baya. Dia adalah mantan penambang belerang di Gunung Welirang. Ada banyak pengalaman selama puluhan tahun menambang. Ada banyak hal mistis yang pernah dia alami dan kisah-kisah mistis seputar Gunung Welirang dan Arjuna yang menjulang di hadapanku. Seperti istilah “pucuk dicinta ulam pun tiba” peribahasa yang tepat untuk mengambarkan kondisiku senja kala itu. Aku bertemu dengan orang yang tepat yang memberikanku banyak informasi yang sedang aku cari.
Dia sangat antusias bercerita seputar mitos-mitos yang diyakini masyarakat sekitar, apalagi tentang hutan Lali Jiwo. Banyak orang yang hilang di hutan itu karena terpesona oleh keindahannya, sehinga disebut Lali Jiwo karena banyak yang lupa akan kewarasan jiwanya tutur lelaki separuh baya itu.
Malam pun datang, setelah kutunaikan sholat isya' aku bergegas untuk melanjutkan perjalanan menuju Kokopan. Kokopan adalah pos 2 sebelum puncak Welirang, rencananya aku akan bermalam disana dan ketika menjelang subuh melanjutkan perjalanan menuju Puncak. Estimasi waktuku 2 hari 1 malam dalam pendakian kali ini.
Dengan berbekal head lamp aku berjalan menyusuri hutan raya yang sunyi dan mencengkram. Ada perasaan takut dan was-was. Entah ketakutan tentang apa, aku merasa sangat tidak nyaman. Namun kupaksakan kaki untuk terus berjalan melewati pepohonan besar yang tumbang dibanyak tempat akibat badai.
Malam itu semesta sedang berpihak padaku, bintang-bintang bertaburan terang, indahnya melebihi gemerlap kota yang sering aku lihat. Perjalanan kali ini aku memang benar-benar seorang diri tak ada pendaki lain yang kutemui. "Tak apalah sendirian, buat belajar bahwa sebenarnya kelak aku akan sendirian dalam penantian panjang mu Tuhan" ujarku menghibur diri.
Pukul 22.45 tibalah di Kokopan, tak ada tenda yang berdiri, tetap aku seorang. Segera kubuka tenda dan beristirahat untuk bekal energi melanjutkan perjalanan. Malam itu aku tertidur pulas, adzan subuh dari kejauhan yang membangunkanku. Padahal rencananya jam 03.00 aku melanjutkan perjalanan menuju Pondokan dan lanjut ke puncak.
Perjalanan menuju Puncak tergolong cepat, mungkin karena badanku yang sudah segar. Atau mungkin karena aku merasa takut karena sendirian. "Kan ada Engkau Tuhanku" kalimat itu sering kuucap untuk mengibur hatiku yang takut dan merasa kesepian.
Sebelum menuju puncak beberapa peralatanku kuletakan di Pondokan. Aku hanya membawa bekal seperlunya yang aku butuhkan untuk perjalanan ke puncak. Pondokan adalah pos yang terdapat gubuk-gubuk yang merupakan tempat istirahat untuk para penambang belerang.
Cuaca kala itu memang sedang berpihak padaku. Sangat cerah dan hangat, membuatku bisa berjalan lebih cepat dari biasanya. Aku hanya beberapa saat di Puncak, aku tak tahan aroma belerang yang terasa sesak di dada.
Ketika sampai di Pondokan aku segera merapikan barang-barangku dan berencana langsung turun dan kembali ke Surabaya. Tapi tiba-tiba badai datang, angin begitu kencang, kabut dari puncak turun dan cuaca seketika berubah menjadi gelap. Seperti dalam film kolosal ketika sang musuh datang. Aku bergegas untuk masuk pada salah satu gubuk, dan menunggu cuaca membaik untuk melanjutkan perjalanan.
Sekitar dua jam badai berlangsung. Dalam penantian aku teringat ibuku. Teringat tentang kuat dan kerasnya seorang wanita yang bertumbuh hanya dengan anak lelakinya. Pesannya terngiang jelas dalam pikiranku, meski sesekali rasa penasaran bergejolak sangat kuat. Ibuku berpesan untuk tidak pergi ke Gunung Arjuna yang terletak bersebelahan dengan gunung Welirang. Gunung itu tergolong keramat untuk ibuku, karena tempat itu yang membuatnya terpaksa membesarkanku seorang diri.
Setelah badai berlalu, aku seolah mendengar langkah dan suara seseorang mendekati gubuk yang aku tumpangi. Seketika aku keluar untuk melihatnya, nampak ada seorang lelaki berperawakan tinggi dengan tas carier menuju ke arahku. Dari kejauhan kulihat wajahnya yang tak asing bagiku, aku sempat tak percaya, aku mengira ini hanya halusinasiku. "Ini tidak mungkin, dia hanya mirip enggak mungkin." Ucapku tak percaya.
Dengan senyum rama dia menyapaku "sendirian mas?" Aku terdiam tak bisa menjawab. Lelaki itu sekilas wajahnya mirip denganku, dan lebih mirip lelaki yang ada di frame foto keluarga yang terpajang di dinding atas rak TV rumahku. Aku mengamatinya untuk memastikan. Kulihat seksama wajahnya. Kuperhatikan detail semua yang ada pada dirinya. Termasuk lambang merk tas pingangnya yang tak luput dari pengamatanku. Merk tas yang semakin beken dari tahun ketahun. Entah lambang tas itu keluaran tahun berapa, yang jelas aku sangat mengingatnya. Lambang dan tas pingangnya sama persis tas usang milik ibuku yang masih dipakai sampai sekarang.
" Ya pak, eh mas aku sendirian, sampeyan juga sendiri?"tanyaku balik. Sebenarnya hatiku sedang bergejolak, mengapa dia tidak mengenaliku, mengapa dia tidak berubah, ini benar apa tidak, segudang pertanyaan mengintari kelapaku. "Ya aku juga sendiri, aku dari Arjuna mas, kemarin sempat tersesat di Lali Jiwo 3 hari. Eh pangil saja mas jangan pak, kayak sudah tua saja aku, anakku baru satu dan masih kecil . Hmm pasti istriku sedang bingung mencariku, untung mas aku bisa kembali” tuturnya. Tak ada gurat ketakutan dalam wajahnya, seolah tak terjadi sesuatu yang menakutkan dalam masa tersesatnya. Mungkin memang benar yang dikatakan bapak dalam warung kopi kemarin. Lali Jiwo membuat orang terpesona dan melupakan kewarasannya.
Kamipun asyik ngobrol di atas batu besar. Hatiku terus bergejolak dan rasa bingung yang tak kepayang, sehinga membuat kepalaku terasa berat.“Tentulah mas, pasti keluarganya sedang bingung mencari. Aslinya mana mas? Tanyaku. Surabaya, makanya aku ingin bergegas turun dan berkabar. Ayo setelah ini kita turun bareng, ketemu sampeyan rasanya seneng banget mas, seperti bertemu keluarga yang sudah lama tak berjumpa” ucapnya sambil matanya berbinar.
“anaknya umur berapa mas? Tanyaku penasaran. Masih 5 tahun mas. Dia sebenarnya pengen banget ikut pendakian kemarin. Katanya mau ke Gunung yang punya nama sama dengannya. Tapi aku belum siap mental untuk mengajaknya” ceritanya.
Seperti ada yang menohok hatiku, jleb serasa ada pisau yang menusuk dadaku. Aku seperti kesulitan bernafas, dadaku terasa semakin sempit dan logikaku terus berpikir akan keterkaitan satu dengan yang lainnya. Akupun memberanikan diriku, aku tak kuasa menagung beban berat akan rasa penasaran. Sembari menutup mata dan mengambil nafas panjang, sebagai bekal untuk menata pertanyaan dan menerima peristiwa yang akan terjadi setelah ini. Seolah ada kekuatan yang mendorongku untuk memastikan akan sebuah kebenaran. Perlahan kubuka dompetku, kuambil foto yang curi dari dompet ibuku. Foto yang sudah buram karena termakan usia. Foto tua yang berusia sekitar 20 tahun.
Dengan memberanikan diri aku berucap” mas, kau sangat mirip dengan orang di foto ini” sambil kuperlihatkan fotonya. Dia memastikan dengan medekatkan foto ke arah matanya. Raut wajahnya heran sambil sesekali melihat ke arahku. “lo mas dapat foto ini dari mana? Tanyanya. Dari dompet ibuku, jawabku sambil bergetar suaraku. “kok bisa sampeyan punya foto keluargaku mas?” Tanyanya terheran. Seketika aku tersungkur dan menangis sejadinya. Beban dalam hati dan pikiranku seolah keluar melalui tetesan air mata yang mengucur deras dari mataku. Dia masih terheran sembari membantuku bangun dan bertanya-tanya tentang apa yang terjadi.
"Hiks hiks hiks, ini enggak mungkin terimakasih ya Allah" teriakku. Lelaki di depanku semakin bingung dan bertanya-tanya kenapa denganku. Kuraih badannya dan kupeluk erat dia sembari berucap " aku anakmu pak, aku anak yang ada di foto itu aku Arjuna. Aku anak yang kau tinggalkan 15 tahun silam". Dia hanya terdiam dalam pelukanku dan tak percaya akan ucapanku. Bapakku melemas dan tak percaya, dia merasa hanya pergi satu minggu meninggalkan anak dan istrinya dan sempat tersesat 3 hari lamanya.
Tiba-tiba seperti ada suara gemuruh datang dari atas, seperti riuh badai yang sedang beranjak turun dari puncak. Aku membuka mataku dan melepaskan pelukan yang terasa hangat dari lelaki yang ternyata adalah bapakku. Suara gemuruh itu tak kunjung berhenti, serasa ada goncangan yang sedang menimpaku. Lamat-lamatkudengar suara orang sedang ngobrol disampingku. Kucoba untuk bergerak namun tak bisa. Kakiku terasa berat seperti tertindih batu. Kumulai perlahan memahami kejadian yang sedang aku alami. Aku masih kebingungan. Kepalaku terasa berat dan nyut-nyutan. Sampai pada suatu goncangan hebat yang aku rasakan. Aku seperti terbangun dari tidur panjang. Seketika itu aku sadar bahwa aku sedang berada di atas mobil Jeep bersebelahan dengan tumpukan belerang.
Aku masih kebingungan dengan apa yang sedang menimpa diriku. “sudah bangun mas, gimana mas? Tanya lelaki yang duduk sambil memegang setir. “kok saya disini ya mas?” tanyaku heran. “sampeyan loo mas jatuh ke jurang. Untung saja ada penambang yang tak sengaja melihat sampeyan.Terus sampeyan dievakuasi dan dititipkan di mobil ini. Sampeyan kug nekad mas naik sendiri di cuaca seperti kemarin. Untung saja mas gunungnya sudah dibuka, sudah boleh menambang. Sampeyan masih diberi panjang umur mas sama Gusti Allah” ucapnya dengan logat medok Jawa Timuran.
Aku hanya terdiam, sembari mengutuk diriku sendiri. Tentang keegoisan dan kesombonganku. Perasaanku bercampur, ada kehangatan dari pelukan seorang bapak yang ternyata hanya kejadian alambawah sadarku. Wajah ibuku terpampang jelas, entah apa yang akan terjadi padanya seandainya aku tiada dalam pendakian kemarin. Penyesalan pun sudah tak berarti sekarang ini. Setidaknya aku diberi kesempatan untuk hidup kembali. Meski dengan rasa bersalah pada diriku sendiri terutama pada ibuku.
Tidak ada komentar: