Ads Top

Kukira aku sudah mati kala itu. Aku tak sadar, sudah sehari semalam berada pada jurang sedalam tujuh meter dengan rasa nyeri yang teramat pada tulang rusukku. Aku tak bisa bergerak, air mataku tak terbendungkan lagi untuk menahan nyeri dan rasa kesepian yang teramat selama sepekan ini. Saat itu aku benar – benar berada pada titik nol.

Aku ingat betul kejadian itu, bahkan sampai matipun aku menolak lupa akan pembelajaran hebat dalam hidupku. Itu terjadi beberapa tahun yang lalu, beberapa bulan sebelum menikah. Minggu pertama bulan Ramadhan, aku memutuskan untuk melakukan pendakian gunung Argopuro. Gunung dengan rute terpanjang di Pulau Jawa yang memberikan pemandangan yang mempesona bagi pecinta kegiatan alam bebas.  

Kala itu aku sedang berada di puncak kerinduan akan gunung,  rasa jenuh yang memuncak karena codingan membuatku sering berfikir tak waras. Setelah mempertimbangkan banyak hal, aku menemui kekasihku.

“nona, aku besok berangkat ke argopuro” ucapku, sambil merapikan beberapa peralatan yang hendak kubawa yang kutitipkan di kosannya.
“hah,, yang benar saja, ini kan puasa” ucapnya heran.
“memang kenapa kalo puasa, apa naik gunung enggak boleh puasa?” ucapku santai
“gila kamu mas, gak usah berangkat mas ” cegahnya sembari mengambil jaket yang sedang kulipat.
“aku tidak sedang meminta ijinmu, tapi aku kasih tahu kalau aku besok ke Argopuro” bantahku dengan tegas sembari mengambil kembali jaket yang dia ambil.

Seketika itu suasana jadi hening. Dia diam dan meninggalkanku dengan seabrek peralatan yang akan kubawa. Aku tau dia sedang mencoba untuk menerima keputusanku. Dia sangat mengerti aku, dan tau seperti apa memperlakukanku.

“terserah lah mas, toh meskipun aku memintamu dan menjabarkan banyak hal akan resiko pendakian seorang diri kamu tetap akan berangkat ” ucapnya sambil matanya berkaca – kaca seolah sedang memendam amarah yang tak bisa dilampiaskan. Aku hanya diam, sambil berpikir menyusun rencana pendakian besok. Perihal estimasi waktu, pos untuk menginap dan menghitung persiapan bekal yang kubutuhkan selama pendakian yang kucoba untuk tetap berpuasa.

Jum’at, 19 September 2014, selepas sholat Jum’at aku berangkat dari terminal Purabaya menuju Situbondo tepatnya menuju terminal Besuki. Rencananya aku akan naik lewat Baderan dan turun lewat Bremi Probolinggo. Sampai di Besuki setelah magrib, kusempatkan makan di terminal. Dengan menu alakadarnya tapi terasa sangat nikmat. Tak lupa aku memberi kabar kepada nonaku, yang pasti sedang mendoakanku meskipun rasa dongkol dalam hatinya belum juga luntur.

“Nona, aku sudah sampai Besuki, habis ini naik ojek ke Baderan, angkot sudah tidak ada. Jangan kawatir, aku looh kuat, toh ini ke Argopuro untuk yang ketiga kalinya sudah hafal aku medan dan jalannya. Love you nona.” itu isi sms ku untuknya. Setelah kukirim aku teringat ibuku, namun ada keraguan ketika hendak menghubunginya. Aku tak mau menambah kekawatiran buatnya. Cukup kekasihku saja yang tau pikirku saat itu. Dan aku memutuskan tidak berkabar kepada ibu.

Perjalanan sekitar setengah jam dari Besuki ke Baderan, ojek yang kutumpangi melaju dengan pesat. Sepeda motor bebek yang dipaksakan menyerupai motor trail terasa berat dengan tubuhku dan si tukang ojek ditambah tas carier yang menjulang pada punggungku. Kepulan asap motor yang menghitam dan rintihan suara motor menjadi teman perjalanan kami.

Sampai pos perijinan sepi tak ada petugas yang berjaga, mungkin dikira tidak ada yang melakukan pendakian karena sedang bulan ramadhan. Aku terpaksa tidak mengisi buku tamu dan meminta ijin pada pihak yang berwenang. Setelah menunaikan sholat isya dan mengisi air untuk bekal aku memulai perjalanan. Malam itu sangat sepi dan sunyi, tapi langit sangat terang seolah bulan memang diciptakan untuk menemani perjalanku yang seorang ini.  

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.