Luka
Gambar dari google |
Hujan deras menguyur kota Surabaya sore itu, perasaanku cemas menunggu si sulung yang entah kemana dia pergi. Langit begitu gelap dan angin bergemuruh menjadi pelengkap untuk menambah resah hatiku. "Ah kemana dia pergi", gerutuku. Entah berapa kali aku melihat ke arah pintu untuk memastikan apakah dia sudah datang.
Hujanpun semakin deras, lamat-lamat terdengar suara sepeda motor yang membuatku sedikit lega. Tanpa salam dia memasuki pintu dengan basah kuyub. Akupun hanya diam, sambil menunggunya mandi aku menyiapkan teh jahe yang dia suka. Teh kuletakan di meja depan tv, berharap dia bisa melihat.
Setelah anakku beranjak remaja aku jarang mengajaknya berbicara, hanya mengatakan yang perlu kukatakan. Aku malu dan bingung memulai pembicaraan dari mana. Anakku sudah banyak berubah, ada banyak ketakutan yang membatasiku. Aku merasa dia akan tidak nyaman ketika aku terlalu banyak bertanya dan mencampuri urusannya.
Setelah mandi kulihat ada luka dipelipis matanya. Dengan gemetar menahan tangis aku bertanya, "apa yang terjadi nak?" Dia hanya melirikku dengan sorot mata tajam. Segera kuambil handuk dan air hangat untuk mengompresnya. Dia masih dingin, seolah sisa pertengkarannya masih belum reda. Dengan lembut ku seka lukanya sembari bertanya lagi, "kenapa kamu nak?".
Seketika itu dia sorot matanya mulai melembut seolah belaikanku adalah obat penenang yang dia butuhkan.
Sambil menahan sakit dia mulai bercerita. "Salahkah aku ketika menyakiti dia?lelaki yang tak mengenal arti sebuah tanggung jawab?"tanyanya mengebu. Aku mengerti siapa yang dia maksud, lukanya begitu dalam terhadap lelaki yang ditakdirkan menjadi bapaknya. "Salah, karena kau tak berhak untuk menyakiti orang lain." Jawabku dengan tegas. "Lantas kenapa dia menyakiti kita?" Jawabnya dengan nada yang masih tinggi. Kuelus rambutnya dengan tangan gemetar untuk menahan tangis, aku tak rela ketika anakku melihat ada tumpahan air mata pada pipiku. Aku tau dia belum bisa mengurai lukanya, belum bisa mengambil hikmah dari luka yang diderita."Nak, kenapa kau biarkan hatimu terluka?kenapa kau tak memilih bersabahat dengan lukamu?agar kau tau seperti apa menyembuhkan atau menikmatinya. Kau tau rasanya sakit bukan?" Ucapku sembari terus mengelus kepalanya. "Ini tidak adil buat kita bu" jawabnya. “Adil tak harus sama nak, adil itu ketika kau bisa menempatkan sesuatu sesuai porsinya, apa yang menimpa kita, agaplah itu medan yang harus kita lalui, tak ada jalan lain selain kita menikmati dan mencari jalan yang terbaik buat kita. Pilihan kita cuma jalan ke depan, karena jembatan di belakang sudah roboh." Ucapku dengan mata berbinar sambil terus mengusapnya. “Kenapa kau begitu kuat bu?” tanyanya.”karena cuma itu pilihanku” jawabku tegas sambil menatap matanya.
Hujanpun semakin deras, lamat-lamat terdengar suara sepeda motor yang membuatku sedikit lega. Tanpa salam dia memasuki pintu dengan basah kuyub. Akupun hanya diam, sambil menunggunya mandi aku menyiapkan teh jahe yang dia suka. Teh kuletakan di meja depan tv, berharap dia bisa melihat.
Setelah anakku beranjak remaja aku jarang mengajaknya berbicara, hanya mengatakan yang perlu kukatakan. Aku malu dan bingung memulai pembicaraan dari mana. Anakku sudah banyak berubah, ada banyak ketakutan yang membatasiku. Aku merasa dia akan tidak nyaman ketika aku terlalu banyak bertanya dan mencampuri urusannya.
Setelah mandi kulihat ada luka dipelipis matanya. Dengan gemetar menahan tangis aku bertanya, "apa yang terjadi nak?" Dia hanya melirikku dengan sorot mata tajam. Segera kuambil handuk dan air hangat untuk mengompresnya. Dia masih dingin, seolah sisa pertengkarannya masih belum reda. Dengan lembut ku seka lukanya sembari bertanya lagi, "kenapa kamu nak?".
Seketika itu dia sorot matanya mulai melembut seolah belaikanku adalah obat penenang yang dia butuhkan.
Sambil menahan sakit dia mulai bercerita. "Salahkah aku ketika menyakiti dia?lelaki yang tak mengenal arti sebuah tanggung jawab?"tanyanya mengebu. Aku mengerti siapa yang dia maksud, lukanya begitu dalam terhadap lelaki yang ditakdirkan menjadi bapaknya. "Salah, karena kau tak berhak untuk menyakiti orang lain." Jawabku dengan tegas. "Lantas kenapa dia menyakiti kita?" Jawabnya dengan nada yang masih tinggi. Kuelus rambutnya dengan tangan gemetar untuk menahan tangis, aku tak rela ketika anakku melihat ada tumpahan air mata pada pipiku. Aku tau dia belum bisa mengurai lukanya, belum bisa mengambil hikmah dari luka yang diderita."Nak, kenapa kau biarkan hatimu terluka?kenapa kau tak memilih bersabahat dengan lukamu?agar kau tau seperti apa menyembuhkan atau menikmatinya. Kau tau rasanya sakit bukan?" Ucapku sembari terus mengelus kepalanya. "Ini tidak adil buat kita bu" jawabnya. “Adil tak harus sama nak, adil itu ketika kau bisa menempatkan sesuatu sesuai porsinya, apa yang menimpa kita, agaplah itu medan yang harus kita lalui, tak ada jalan lain selain kita menikmati dan mencari jalan yang terbaik buat kita. Pilihan kita cuma jalan ke depan, karena jembatan di belakang sudah roboh." Ucapku dengan mata berbinar sambil terus mengusapnya. “Kenapa kau begitu kuat bu?” tanyanya.”karena cuma itu pilihanku” jawabku tegas sambil menatap matanya.
Obrolan kita berlanjut hingga larut sembari ditamani hujan yang intensitasnya mulai menurun. Aku terus melihat lukanya, luka yang diperoleh dari hantaman helm untuk memuaskan hasrat rasa sakitnya melihat si bapak bersama wanita yang mengantikan posisi ibunya sejak 12 tahun silam.
#30DWC
#30DWCJILID11
#Squad5
#Day5
#30DWCJILID11
#Squad5
#Day5
Tidak ada komentar: