Ads Top

Malam panjang di Cikasur telah usai. Pagi yang cerah terpampang jelas di mataku. Kutemukan lagi surga yang kunikmati seorang diri. Malam panjang yang dingin dan mencengkeram telah usai, berganti dengan hangat mentari dan tarian ilalang yang merayuku untuk berlama-lama menikmatinya.
Pagi ini akan kunikmati dengan segarnya air sungai Qalbu yang berada di balik bukit Cikasur.
Sungai jernih nan indah dengan selada air yang tak akan layu sepanjang masa. Kunikmati air yang masih mengandung nafas yang membeku sisa temperatur semalam. Kubasuh kaki, tangan sampai ubun – ubunku. Dinginya merasuk sampai tulang. Siapaun pasti menolak basah ketika melihat sungai itu.
Matahari mulai melotot, panasnya mencairkan tubuhku. Kunikmati pagi yang sangat indah tanpa secangkir kopi. Kali ini aku mencoba untuk berpuasa selama perjalanan menuju Alun – alun Lonceng. Alun – alun Lonceng merupakan jalur pertigaan menuju puncak Renganis, Puncak Argopuro dan jalan menuju Taman Hidup (jalur Bremi). Sebelum menuju Alun – alun lonceng, ada Cisentor dan rawa Embik yang tak kalah menawan.
Cisentor merupakan pertemuan dua jalur, yaitu Jalur Baderan dan Jalur Bremi yang terdapat pondok terbuat dari kayu. Sekitar 4 jam perjalanan menuju Cisentor, dengan medan yang lumayan curam dan menyeberangi sungai kecil. Dari Cisentor sekitar 1 jam menuju rowo Embik. Rowo Embik merupakan sebuah savanna yang cukup luas yang terdapat sungai kecil di sisi kanan jalur yang cocok digunakan untuk bermalam, namun kali ini aku memilih Alun – alun Lonceng untuk bermalam, agar lebih dekat dengan puncak.
Perjalanan panjang selama menuju Alun – alun Lonceng, aku benar – benar mersakan puasa yang sesungguhnya. Tak hanya menahan haus dan lapar, aku juga sedang berperang melawan diriku yang sangat sombong ini. Aku tak pernah membayangkan berjalan sendiri dalam gelapnya deretan pohon – pohon besar berkanopi lebat. Dalam kondisi dahaga, membuat langkahku pelan dan sempoyongan. “ aku sedang berperang melawan diriku, aku harus kuat untuk memenangkanya “ itu yang menjadi motivasi terbesarku untuk terus berjalan dan berpuasa.
Sekitar pukul 16.00 aku sampai di rawa Embik, dengan kondisi yang semakin lemah. Energiku terkuras dan tak ada asupan kalori yang masuk dalam tubuhku. Aku memaksakan diriku untuk melanjutkan perjalanan menuju Alun – alun Lonceng. Tak kurang dari setengah jam aku meninggalkan rawa Embik, pikirku aku hanya harus berjalan setengah jam lagi untuk dapat beristirahat dengan tenang dan menikmati buka puasa pertama kali di gunung.
Aku merasa ada yang ganjil ketika mulai memasuki hutan menuju Alun – alun lonceng. Entah ini hanya perasaanku atau kondisi tubuhku yang semakin lemah membuatku berimajinasi banyak hal. Suasana hutan sangat suram ketika menjelang magrib. Kabut mulai turun, jarak pandangku terbatas, dan pohon – pohon tinggi menjulang seakan membawaku pada dimensi dunia yang berbeda. Aku serasa diikuti oleh seseorang, namun kenyataannya aku hanya seorang diri. Sebelum memasuki kawasan Alun – alun Lonceng ada padang adelwes dengan tinggi di atas 3 meter, biasanya terlihat sangat cantik namun berbeda kala itu. Perasaanku semakin takut ketika memasuki kawasan itu. Ketakutan akan kemarahan sang dewi Rengganis yang kemudian memaksanya untuk melenyapkanku.
Tapi aku sudah berjalan sejauh ini, untuk kembali pulang aku masih harus melewati 2 hari perjalanan. Pilihanku hanya berjalan dan terus berjalan, sembari pasrah dan mencoba menikmati atas pilihan yang kuambil. Tuhan sedang ingin bercanda denganku, melalui rasa takut dan lelah yang teramat.




  
#30DWC
#30DWCJILID11
#Squad5
#Day11


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.