Ads Top

Aku, Ibu Rumah Tangga


Hari ini aku sangat bahagia, hatiku dipenuhi dengan kupu-kupu. Sayapnya merekah sempurna dan memenuhi rongga hatiku dan membuatku melayang. Malam ini aku merasakan kebanggan sebagai seorang ibu rumah tangga. Yah aku ibu rumah tangga dan untuk pertama kalinya aku benar-benar merasakan bangga menjadi seorang ibu rumah tangga.
Tak mudah memang untuk menerima itu semua. Setelah pergulatan yang ada dalam diriku, dalam jiwaku yang terus menerus mencari pembenaran dan pembelaan untuk menerima gelar baru menjadi seorang ibu rumah tangga. Memang ini hanya persoalan klise dan tak penting untuk kebanyakan orang. Namun ini hanya pengingatku ketika aku mulai diliputi kegundahan yang sering membuatku gila dan merasa tak berarti sehingga membuatku kufur akan rasa syukur.
Keputusan untuk tidak bekerja di ranah publik awalnya memang sangat memaksaku, memojokkanku dan seolah membunuh bakat dan kreatifitasku (aduh lebay baget ya emak-emak ini wkwkwwk). Bagaimana tidak, dengan latar belakang yang sok sibuk ketika kuliah. Menjadi anggota pecinta alam (Himapala Unesa) yang sedang ada segudang aktifitas yang secara bersamaan bisa merangkap 3 sampai 4 peranan penting dalam kepanitiaan ataupun formasi inti dalam kepengurusan. Ditambah lagi bekerja sebagai guru les part time dan sesekali fasilitator outbond sebagai bentuk ikhtiar mengumpulkan rupiah demi menyalurkan hasrat baklrakan yang tak cukup hanya mengandalkan jatah saku dari orang tua yang sesekali memelas ke kang mas tercinta.
Masa-masa dimana gejolak dalam jiwa begitu bergairah untuk mencoba segala sesuatu, untuk mengambil setiap perananan dan menjamah setiap tempat. Bayangkan saja hampir 2 minggu  bahkan 1 minggu sekali bisa bepergian entah naik gunung, ke pantai, menyelam, penekan (manjat), menjamah zona rimba dari tanam nasional sampai ngintir di kali (arung jeram) semua devisi di Himapala seolah ingin dicoba dan dilahap habis semua kegiatan yang ada. Setelah lulus menjadi sarjanah pun hasrat itu masih bergelora dan rasa ingin berpergian masih sangat tinggi.
Sampai pada suatu ketika aku menjadi teman seranjang dari teman seperjalananku, hasrat untuk bepergian semakin menjadi, seolah menemukan patner yang klik untuk menjelejah dan menikmati rasa lelah yang menjadi candu. Istilah orang jawa tumbu ketemu tutup.
Setalah menikah banyak mimpi-mimpi ku dan swamiku (Mas Wahyu) yang ingin kami beli satu persatu, bukan mimpi untuk berumah tangga dan hidup yang mapan, nyaman seperti kebanyakan orang. Tapi mimpi kami untuk menjamah belantara menikmati rasa lelah dan berbagi selimut dalam tenda remang yang melindungi kami dari dingin hutan hujan tropis khas Nusantara.
Sampai pada saatnya tiba, aku positif hamil setelah satu bulan kepulangan kami dari Merbabu. Saat itu rasanya campur aduk, anatara senang dan galau. Hidup kami belum tertata, kami belum punya banyak bekal untuk menjadi orang tua dan aku sebagai calon ibu ada rasa bahagia bercampur sedih. Seolah si jabang bayi akan merampas kehidupanku, terutama tentang kegemaranku naik gunung. Maafkan mamak ya Lestari, pernah seperti itu.
Masa menjelang persalinan adalah masa yang sulit bagiku. Ada persaan sedih, karena aku akan berhenti bekerja. Aku tidak mencintai pekerjaanku, tapi aku mencintai lingkungan kerjaku, mencintai kehangatan keluarga yang ada di dalamnya, mencintai rutinitasku dan ketika aku melahirkan nanti aku akan berpisah dengan mereka. Karena itu sudah kesepakatan kami untuk fokus ke anak. Lebih tepatnya mangdat dari swami untuk tidak bekerja setelah punya anak hihihi.
Setelah menjadi ibu aktifitasku sangat padat, bangun paling pagi dan tidur paling akhir, mungkin semua mamak seperti itu ya gaes. Kehidupanku sangat terbatas dengan rutinitas yang menjemukan. Aku sering merasa baper dan tak berguna ketika hanya mengerjakan aktifitas rumah tangga. Seolah tak berarti dan tak menghasilkan, krisis percaya diri menyelimuti. Sering mencari-cari apa yang bisa dilakukan ditengah-tengah mengurus anak dan rumah sehingga lupa akan tanggung jawab utama, yaitu menjadi patner dan fasilitaor untuk Lestari. Menemaninya dalam setiap proses, memperhatikan tiap tumbuh kembangnya dan menjalin tali kasih yang sudah Tuhan hadirkan lewat tumbuh mungilnya.
Aku benar-benar merasakan gagal menjadi seorang ibu. Apalagi ketika Lestari kurus dan berat badannya kurang sesuai mestinya. Sempat berpikir jikalau Lestari dirawat orang lain mungkin hasilnya akan lebih baik. Ditambah celoteh manis dari orang-orang terkasih, yang seolah menuntutku dan menyayangkan keputusanku menjadi ibu rumah tangga, duh benar-benar pengen salto dan tanpa sengaja mengenai mulut mereka yang berceloteh manis hahahaa. “emane wes kerjo enak-enak malah metu, wes sekolah ngoyo-ngoyo mung dadi ibu rumah tangga, aduh kug ngesakno Lestari awak’e kuru” dan serentetan kata-kata manis yang sekarang aku bisa tersenyum tanpa sinis ketika mendengarnya. Dan ini semua butuh proses yang sangat panjang buatku.
Untuk menerima dengan sadar bahwa diriku adalah seorang ibu rumah tangga, berawal dari kelas matrikulasi di Intitut Ibu Profesional (IIP). Dari situ aku benar-benar tertampar, tersudut dan memaksaku untuk menyelami diriku. Mendengar nuraniku dan memanggil fitrah keibuan yang sudah Tuhan titipkan ketika Lestari ada dalam rahimku. Lewat NHW (Nice Homework) aku dibuat malu dan penyesalan tiap momen begitu tergambar dengan jelas. Aku merasa bersalah dengan Lestari dan mas Wahyu. Aku lalai dalam banyak hal, aku tengelam dalam kegundahan yang tak menerima diriku dan melaksanakan kewajibanku secara bahagia. Aku tak bersikap profesional, bahkan seadaanya ketika menjalankan peran sebagai seorang ibu dan istri. Contoh kecil dari caraku berpenampilan, yang sangat jauh ketika aku bekerja secara profesional, ini hal kecil dan sepele tapi membewa dampak sangat besar bagiku. Ketika hariku diisi dengan daster-daster kumel yang membuat pola pikirku juga kumel. Padahal ketika bekerja aku bisa berpenampilan menarik dengan memakai baju rapi, bersolek dengan gincu dan beraroma wewangian dan siap untuk menerima segala tugas untuk dikerjakan.
Dari IIP aku menemukan banyak hal, tentang pola pikir dan sudut pandang. Tentang bahagia yang sangat sederhana dan hanya kita yang tahu seperti apa. Aku mulai berubah dari hal terkecil, beranjak dari daster kumel dan mengantinya dengan baju rapi ketika menemani Lestari bermain. Berdandan dan beraroma wangi setiap pagi. Seolah akan bepergian atau berangkat bekerja. Dari itu banyak hal yang berubah, dengan hati legowo dan rasa bahagia aku rela menemani Lestari untuk berjalan keliling komplek dan sesekali duduk di bawah pohon keres, terkadang hanya mengamati sampah atau semut berbaris. Dengan sadar dan berbesar hati aku mulai menerima rumah kotor dan berantakan sebagai kelas Lestari untuk belajar. Meskipun kadang-kadang rasa lelah menghadang, dan emosi dipermainkakan. Kadang-kadang aroma kejengkelan juga tercium oleh Lestari, lewat nada tinggi yang aku keluarkan. Manusiawilah namanya juga lelah mak, tapi harus sadar penuh bahwa kita sedang menemani insan kecil yang sedang berproses, belajar dan bertumbuh (eleng-lengen ndah).
Dari IIP aku menemukan cara menjaga kewarasan dalam menemani Lestari yang semoga tumbuh sesuai Fitrahnya. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menjaga kewarasan ditengah-tengah kerunyaman menemani Lestari dalam keseharian, bisa dengan mandi dan memakai minyak wangi ataupun secangkir kopi hitam di cuaca menyengat kadang juga terasa nikmat. Ataupun indomie dengan rawit dan sebungkus micin dari Chitos. Apapun itu bentuknya memang harus dilakukan sesaat sebagai obat kewarasan seorang mamak.
Tiap orang berbeda-beda untuk menerima kondisi dirinya. Ada banyak cara, seribu jalan bisa ditempuh. Terserah jalan mana yang akan dipilih, tapi dengan sadar menerima dirinya dan menjalankan perannya dengan sepenuh hati adalah sebuah nikmat yang sayang untuk dilewatkan. Percayalah mak, ketika Tuhan menitipkan janin dalam rahimmu, Tuhan juga telah menginstal segala seuatu yang dibutuhkan untuk menjadi seorang ibu. Tingal kita saja mengoperasikan perangkat yang ada untuk memenuhi tangung jawab kita sebagai ibu. Terimakasih IIP, terimakasih mas Wahyu terimkasih Lestari kalian menemaniku untuk terus berproses. Berbahagaialah mamak sejagad, lewat tangan kalian lah kebahagiannya keluarga tercipta dan di bawah telapak kakimulah surga berada. Semoga selalu sehat sentosa lahir dan batinmu mak.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.