Ads Top

Argopuro Riwayatmu Kini

Sore ini ditemani gerimis dan semerbak wangi melati membawaku dalam keheningan. Rasa damai yang disuguhkan kampung halaman membawaku dalam fantasi semu yang sesekali membuatku geli. Kopi yang diseduh oleh orang sama namun terasa berbeda ketika kunikmati di sini. Waktu seolah  berjalan secara perlahan, tak ada target atau tuntutan yang harus terpenuhi. Suasana sore itu membawaku dalam kenikmatan lamunan akan ternak yang berjajar, kebun segar yang memenuhi kebutuhan nutrisi anak istri dan tawa dari Lestari yang tumbuh dengan sehat dan bahagia. Ahh pesona kampung halaman memang begitu mengiurkan.
Tiba-tiba istriku membuyarkan lamunan semuku dan menyodorkan foto usang yang ditemukannya dalam amplop coklat tua. Foto yang langsung membuatku merasakan letupan-letupan dalam dada, menambah bahagia sore ditengah gerimis dan wangi melati. Foto pendakian Argopuro 15 tahun silam, gambar yang dihasilkan tak begitu maksimal. Tak mengenal ASA, diafragma atau aplikasi tertentu yang dapat mempercantik gambar hasil jepretan dan masa itu tak mengenal tentang kamera digital. Foto dengan pencahayaan berlebih yang membawaku pada kebahagiaan yang berlebihan pula. Foto yang seolah bercerita tentang pendakian terbodoh dan terasyik yang seumur hidupku tak dapat kulupakan.
Pendakian dengan bekal yang seadaanya, lebih tepat dibilang nekad. Pendakian pertama gunung Argopuro tanpa tenda dan alat safety prosedur lainnya. Bisa dibayangkan sebodoh apa yang pernah kulakukan. Jangan dibayangkan dan jangan pernah melakukannya. Mungkin kami bertiga masih hidup karena misi kami di dunia belum selesai yaitu mencari tujuh bola naga wkwkwkw. Kami tak sakti layaknya Goku ataupun teman-temannya dalam kartun “Dragon Ball”. Kami hanya mahasiswa nekad bodoh yang tergiur dan jatuh cinta dengan pesona dewi Renganis. Mungkin lebih tepatnya aku, karena dua temanku mereka teracuni oleh ucapanku.
Kala itu aku masih duduk di bangku kuliah semester  II tepatnya tahun 2003. Ketika masuk libur semester aku merayu Arip,  teman kuliahku dari Situbondo yang kebetulan juga anggota dari pecinta alam Granika untuk mengantarku ke Argopuro. Selain Arip, Ruli pun hendak ikut, dia adalah teman satu kosku. Sebenarnya ada rasa was-was ketika Ruli memaksa untuk ikut. Ini pendakian pertamanya dan langsung melintasi pegunungan Hyang dengan rute terpanjang di Pulau Jawa.
Waktu yang dinantipun tiba, perjalanan kami berawal dari terminal Arjosari Malang menuju Situbondo. Pagi buta kami berangkat, dan bertemu dengan rombongan pendaki yang hendak ke gunung Raung. Saat itu jalur selatan (Puncak sejati) belum ditemukan sehingga jalur utaralah yang menjadi mimpi para pendaki kala itu. Sekitar jam 12 perjalanan sampai di terminal Besuki, kamipun rehat sejenak dan makan sambil menunggu angkot menuju Baderan.
Tiba di Baderan kami langsung menuju pos perijinan yang letaknya di sebuah warung, kalau tak salah ingat namanya pak Sobari. Tak ada biaya masuk, surat keterangan sehat ataupun Simaksi kala itu. Mungkin karena tak seramai sekarang pendakinya, sehingga tak ada kebijakan khusus bagi para pendaki. Atau mungkin karena pengetahuan kami yang minim yang tak tahu aturan yang ada. Kondisi ini jauh berbeda dengan sekarang, ketika banyak orang berbondong-bondong ingin bercumbu dengan dewi Renganis dan menguapayakan segala cara, salah satunya dengan menunggangi motor tril dengan roda gagah yang siap menggilas apa saja di depannya.
Perjalanan dimulai sekitar pukul 14.00, meninggalkan pemukiman yang terasa damai, menyusuri sungai yang mengalir jernih, melewati ladang yang seolah baru dari hasil alih fungsi hutan. Sekitar satu setengah jam perjalanan kami beristirahat untuk menunaikan sholat ashar di dekat sungai.
Hari mulai petang dan kami masih berada di sekitar ladang. Candi Olo mulai menguasai atmosfer sore itu, kami masih berjalan dalam kesunyian senja. Ditengah perjalanan ada sebuah gubuk yang dihuni oleh satu keluarga. Kondisinya sangat sederhana, atau dikatakan kurang bila dibandingkan dengan kondisiku kala itu. Namun aku merasakan aroma surga disana, terpancar dari seorang bapak yang dari bahasanya pun aku tak paham karena hanya bahasa madura yang dia bisa. Dia menawarkan untuk kami beristirahat dalam gubuknya karena hari sudah gelap. Ahh manusia-manusia beraroma surga memang, yang masih berbagi cinta dengan segala keterbatasannya. Namun kami memutukan untuk melanjutkan perjalanan sampai mata air satu.
Sekitar pukul 22.00 kami sampai di Pos Mata Air Satu, sudah ada satu tenda yang berdiri dan penghuninya sudah terlelap. Perjalanan hari pertama telah usai, dengan rute yang sangat panjang dan melelahkan. Dan kami beristirahat dalam dingin dan lelahnya di pos mata air satu beralaskan jas hujan dan beratapkan bintang.
Pagi itu mataharilah yang membangunkan kami. Lewat sinarnya yang langsung membelai hangat tubuh kami. Kami disambut wajah “shock” para penghuni tenda yang berada di sebelah kami. Mereka heran melihat kami tanpa tenda dan sleping bag sebagai pelindung dari dinginnya hutan hujan tropis pengunungan Hyang. Hanya ada dua rombongan saat itu, rombongan kami dan rombongan dari Surabaya yang kutahu setelah berbincang. Dari dulu Argopuro termasuk gunung yang sepi. Hanya orang yang berkeinginan kuat dan punya waktu lebih yang bisa berteman dengan Argopuro.
Setelah sarapan dan packing kami pun melanjutkan perjalanan menuju Cikasur. Kami berangkat lebih dulu dari rombongan Surabaya, karena kami lebih cepat packingnya, tak perlu merobohkan dan melipat tenda hahaha (hinanya kami). Perjalanan menyenangkan dimuali dari sini. kami disuguhkan potongan surga yang tercecer dan tanpak cantik sempurna. Hamparan savana luas sejauh mata memandang, dikelilingi pohon-pohon tinggi menjulang dan hamparan padang edelwais yang konon katanya terluas se Asia. Udara pagi itu pun sangat sejuk, memang surga yang selalu dirindukan.
Dua jam perjalanan kami sampai di pos Mata Air Dua, kami istirahat sejenak sambil menikmati apa saja yang bisa dinikmati termasuk rasa lelah ini. Selang beberapa menit kemudian kami bertemu dengan dua orang bapak separuh baya. Setelah berbincang, kutahu mereka adalah petani dari desa Baderan. Mereka hendak ke puncak Rengganis, untuk “sowan”. Ada misi yang mereka bawa, sebuah persembahan untuk sang dewi sebagai bentuk syukur atas melimpahnya hasil panen mereka. Ada perasaan bahagia kala itu, lagi-lagi terpancar aroma surga dari mereka yang sederhana dan tak rakus untuk menguasai dunia, rasa syukur dalam bentuk lain yang baru kuketahui saat itu.
Dari mereka kutahu tentang banyak hal, tentang kemolekan dewi Rengganis, tentang gagahnya pegunungan Hyang, dan secuil kearifan lokal yang tinggal dan mendapat penghidupan lewat gunung Argopuro. Sangat menyenangkan bisa merasakan kesunyian Argopuro dan keramahan yang ditawarkan penduduknya. Sekitar setengah jam berbincang mereka pun undur diri untuk melanjutkan perjalanannya, dalam sekejap mereka sudah tak terlihat, hilang ditelan gelapnya hutan hujan tropis.
Sekitar jam 15:00 kami sampai di Cikasur, pondok kayu yang setengah rusak yang menjadi incaran kami. Pondok yang akan melindungi kami dari terjangan angin yang membelai lembut ilalang namun terasa ganas untuk tubuh kami yang kurus kering. Jaman kuliah hidup masih sangatlah nikmat, bisa makan sehari dua kali adalah berkah tersendiri. Selang beberapa jam kami istirahat dalam pondok kayu, rombongan dari Surabaya terlihat dari kejauhan, mereka berkemah di dekat sungai di bawah pondok Cikasur.
Dalam rehat banyak hal yang kami perbincangkan. Salah satunya seputar Cikasur, Arip mulai bercerita tentang taman paksa di Cikasur pada era penjajahan Belanda yang memakan banyak korban.  Katanya ketika malam sering terdengar jeritan orang kesakitan yang entah dari mana asal suara itu. Dengan khitmat aku dan Ruli mendengarkannya dan mendadak suasana  menjadi horor. Ini adalah secuil nikmatnya sebuah proses pendakian ketika kita bisa berbincang dan mengenal lebih dalam teman seperjalanan kita. Ada banyak kenangan yang akan tercipta dari sebuah proses pendakian, tak hanya puncak sejatinya dari sebuah pendakian. Dari proses inipun aku menemukan teman seperjalanan yang kemudian menjadi teman seranjang, colek emaknya Lestari.
Hari sudah pagi namun Cikasur masih gelap dan membeku. Mendung berkabut dan gerimis menemani pagi kami. Melihat cuaca tak bersahabat dan alusista kami tak tidak memenuhi SOP, Arip menyarankan pendakian hanya sampai Cisentor. Aku dan Ruli pun mengamini meski dalam hati ada keinginan besar untuk summit. Dalam gerimis kami melanjutkan perjalanan menuju Cisentor dan aku sangat bahagia ketika hujan turun.
Sekitar jam 13:00 kami sudah sampai di Cisentor, estimasi waktu lebih cepat dari perkiraan kami. Karena waktu yang masih panjang, aku mulai mengutarakan niatku untuk summit, dan ternyata mereka juga menghendakinya. Tanpa buang waktu kamipun bergegas untuk summit, seolah ada suntikan tenaga yang datang dari hati kami yang bahagia karena akan bertemu dewi Rengganis. Sekitar jam 17:00 kami sampai di puncak Rengganis, kabut tebal dan cuaca yang gelap menyelimuti puncak. Hanya beberapa menit kami singah di Puncak, hanya sekedar untuk foto dan menikmati anggunnya puncak Rengganis. Setelah itu kamipun turun menuju Cisentor dengan kekuatan penuh.
Jam 21:00 kami sampai di Cisentor dan bertemu dengan rombongan dari Surabaya, yang rencana esok pagi mereka akan summit. Kami pun segera istirahat dan menolak tawaran baik mereka untuk disedukan secangkir kopi. Kami sangat lelah malam itu, dan beristirahat dalam pondok kayu yang kondisinya jauh lebih baik dari pondok Cikasur. Kami berharap esok pagi tenaga kami akan pulih karena perjalanan panjang sudah menanti.
Keesokan harinya cuaca sangat cerah, kami berencana untuk segera turun dan target kami desa Baderan. Kami tidak ingin bermalam lagi dihutan, tanpa adanya tenda, sleping bag, dan alusista yang SOP, pendakian terasa sangat berat. Setelah sarapan dengan kekuatan penuh, kami turun melewati Cikasur, dan Mata Air Satu. Sampai di Mata Air Satu hari mulai petang. Kami terus berjalan bahkan sesekali berlari ketika medan turunan. Beberapa kali kami terjatuh dan sering terucap kalimat toyibah ala jawa timuran (misuh). Kami memaksakan fisik untuk segera turun, bayangan dinginnya bermalam tanpa pelindung dalam hutan Argopuro sungguh aduhhai sengsaranya.
Sekitar setengah sebelas kami sampai di Baderan, pos perijinan sepi warungpun sudah tutup. Kami beristirahat di pos kampling samping warung, dengan rasa lapar dan sisa tenaga yang kami punya. Selang beberapa saat pak Sobari keluar dan menghampiri kami. Dengan polosnya aku bertanya warung mana yang masih buka. Karena dorongan rasa lapar yang begitu membuncah, seolah aku tak dapat berpikir bahwa ini adalah desa kecil di kaki gunung yang kemungkinan besar tak ada warung buka ataupun yang masih terjaga di tengah malam. Pak Sobari pun meningglkan kami, dan ternyata beliau membangunkan istrinya untuk masak dan membuka warungnya. Memang berhati mulia mereka, semoga anda beserta istri selalu dalam kebahagiaan. Barokallah.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.