Cerita Selena #1 (Menuju Kedung Dendeng)
Tulisan ini bercerita tentang kisah suami dan Selena, kekasih yang digandrunginya sebelum dekat denganku. Teman seperjalannya yang telah menemani menghabiskan kilometer demi kilometer. Ini salah satu kencan mereka yang sering suamiku ceritakan dengan mata berbinar. Sepengal kisah dari dusun terpencil bernama Kedung Dendeng.
Siang itu cuaca sedang cerah dan membara. Aku dan Selena hangus dan peluh terbakar matahari yang menemaniku sepanjang jalan setapak hutan jati yang sedang meringis menertawakan kami. Jalan itu begitu panjang dan panas. Sesekali membuatku berpikir untuk putar balik kembali ke rumah dan bersenda gurau bersama Lestari dan ibunya. Namun bayangan akan indah dan uniknya Kedung Dendeng terus tergambar dalam benakku. Dusun terpencil yang jauh dan belum teralirkan listrik di tahun milenial macam sekarang.
Pagi itu adalah hari yang sudah kurencanakan jauh-jauh hari. Waktu dimana kencan bersama Selena, sepeda gunungku yang telah menemaniku sejak beberapa tahun silam. Selena adalah nama yang diberikan kekasihku yang kini menjadi istriku. Selena adalah salah satu teman terbaikku. Bersepeda adalah hobyku yang lain selain naik gunung. Ada kebahagiaan yang sama yang kudapatkan. Banyak moment dan banyak tempat yang telah kujamah dengan sepeda yang mulai terlihat buntut. Salah satunya adalah ketika menuju dusun Kedung Dendeng, desa Jipurapah, kecamatan Plandaan kabupaten Jombang.
Selepas subuh aku mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk bersepeda hari ini. Perjalanan kali ini hanya aku dan selena, estimasi waktu kurang lebih 12 jam. Pukul 05.30 aku mulai perjalanan dari rumah orang tuaku tepatnya di Jabon Drenges Kertosono. Sekitar 1,5 jam perjalanan aku memasuki Hutan Jatikalen. Jatikalen adalah Kecamatan yang menjadi pembatas antara kabupaten Nganjuk dan kabupaten Jombang, sebagian besar wilayahnya adalah hutan jati. Pohon-pohonya masih terlihat belia, yang kemudian kutahu itu adalah hasil reboisasi perhutani beberapa tahun silam.
Ada satu kawasan yang pohon-pohon berdiameter sangat besar, terlihat kekar nan angkuh menjulang. Bisa dipastikan bahwa pohon-pohon itu berusia ratusan tahun. Kawasan tersebut disebut Alas Tuo, sesuai namanya dalam ejaan bahasa Jawa. Tempat ini sangat adem, rimbun, seperti memasuki dimensi lain ketika berada di dalamnya. Di tempat ini juga dijadikan acara nyadran. Nyadran adalah acara bersih desa yang rutin dilaksanakan setiap tahun. rangkaian acaranya berupa pembersihan makam leluhur atau tempat yang dikeramatkan, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di Alas Tuo. Tempat ini dikeramatkan oleh masayarakat sekitar, ada aturan tentang larangan berburu di kawasan ini. Salah satu bentuk kearifan lokal yang semoga bisa menjaga kelestarian dan keindahan si Alas Tuo.
Sekitar 30 menit berada dalam jalur hutan jati, akhirnya sampai di desa Pule yang masih dalam kawasan Jatikalen. Perjalanan selanjutnya melewati jalan makadam dan sawah-sawah. Untuk menuju dusun Kedung Dendeng ada beberapa tempat yang harus dilewati diantaranya, Kedung Cinet, desa Jipurapah kemudian baru sampai di Kedung Dendeng. Namun untuk gowes kali ini saya tidak melewati Kedung Cinet, tapi melewati tebing di atasnya. Jalur ini juga baru kutahu saat itu, ketika aku tak sengaja bertemu rombongan sepeda dari jombang yang hendak ke Kedung Cinet.
Rute jalur yang diberikan sangat berbeda dengan rute yang kutahu. Rute jalurnya dimulai dari "jalan cor" sebelum jembatan gantung kedung cinet belok kiri lewat pematang sawah lalu melewati kebun ketela. Kemudian ada sungai kecil yang harus disebrangi, selepas sungai jalur mulai menanjak nan extream kemudian masuk hutan. Hutannya sangat sepi, tak ada yang lain kecuali aku, Selena dan Tuhan tentunya, sering kali muncul keraguan dalam benak dan ingin putar balik. Sekitar satu jam berada dalam hutan yang sepi akhirnya sampai di desa Jipurapah.
Ada perasaan lega ketika telah menginjak Jipurapah. Tingal sebentar lagi sampai Kedung Dendeng yang merupakan salah satu dusun dari desa Jipurapah pikirku kala itu. Namun kadang bayangan tak seindah kenyataan, bahkan kenyataan kadang terlampau indah wkwkwk. Ternyata aku harus menempuh perjalanan panjang nan terjal selama kurang lebih 2 jam. Medan menuju Kedung Dendeng sangat yahud, bisa dibilang medan paling berat dalam gowes kali ini. Jalur makadam yang membelah hutam sangat panjang dan sangat panas sehinga membuatku oleng. Seolah jalannya tak berujung, kulit dan tulangku seakan hangus terbakar matahari yang terik siang itu.
Tepat pukul 12:00 akhirnya tiba di Kedung Dendeng, dusun terpencil yang mayoritas pendudukan bermata pencaharian sebagai petani tembakau dan cabe. Dusun dengan penduduk yang tak lebih dari 40 kepala keluarga yang jauh dari hingar bingar keramaian kota. Hanya ada satu sekolah yaitu SD Satu Atap tempat untuk mengenyam pendidikan formal anak-anak disana. Untuk melanjutkan jenjang berikutnya mereka harus menempuh jarak yang lumayan jauh menuju desa Jipurapah, dan kondisi itu membuat semangat belajar disana cukup rendah. Ketika sampai disana suasana sangat sepi, mungkin karena siang itu sangat membara. Aku membayangkan betapa asyiknya bermalam disini, sunyi tanpa gemerlap dan hingar bingar kota.
Pertama kali yang kucari ketika sampai di Kedung Dendeng adalah warung. Kaloriku sudah terbakar habis dilahap jalan makadam yang membuatku seolah enggan untuk melewatinya kembali, yah seperti kapok lombok istilah orang jawa. Setelah jembatan yang menjadi pembuka dusun Kedung Dendeng ada sebuah kedai di pojokan, segera aku menghampirinya dan mengisi tangki gizi dalam tubuhku untuk bekal perjalanan pulang. Sayangnya kedai itu tak menjual nasi, namun aku meminta untuk memberikanku nasi dengan lauk seadanya yang mereka punya.
Sekitar satu jam aku beristirahat dan ngobrol dengan warga sekitar. Aku mencoba mencari infomasi tentang dusun, tentang jalur yang menghubungkan dengan desa lain. Kata warga setempat, Kedung Dendeng merupakan perbatasan antara Jombang, Bojonegoro dan Nganjuk. Dengan Bojonegoro hanya dipisahkan oleh sungai yang mengering di saat musim kemarau dan bisa dilewati ketika air surut. Sendangkan dengan Nganjuk berbatasan dengan Sendang Gogor Lengkong. Tapi disarankan tidak melewati sendang gogor, karena banyak percabangan dan membutuhkan waktu yang lebih panjang. Atas saran tersebut aku pun kembali lewat Jipurapah, dengan menyimpan rasa penasaran akan jalur Sendang Gogor. Mungkin ketika kala itu aku memaksakan diri lewat Sendang Gogor, akan bermalam dalam hutan tanpa bekal dan peralatan yang mumpuni. Dan yang jelas ibunya Lestari akan “gila” karena khawatir yang berlebihan. Mungkin suatu saat nanti aku akan mencoba lewat Sendang Gogor, dengan estimasi waktu dua hari satu malam dan mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang, fisik, bekal dan tentunya peralatan tempurnya.
Siang itu cuaca sedang cerah dan membara. Aku dan Selena hangus dan peluh terbakar matahari yang menemaniku sepanjang jalan setapak hutan jati yang sedang meringis menertawakan kami. Jalan itu begitu panjang dan panas. Sesekali membuatku berpikir untuk putar balik kembali ke rumah dan bersenda gurau bersama Lestari dan ibunya. Namun bayangan akan indah dan uniknya Kedung Dendeng terus tergambar dalam benakku. Dusun terpencil yang jauh dan belum teralirkan listrik di tahun milenial macam sekarang.
Pagi itu adalah hari yang sudah kurencanakan jauh-jauh hari. Waktu dimana kencan bersama Selena, sepeda gunungku yang telah menemaniku sejak beberapa tahun silam. Selena adalah nama yang diberikan kekasihku yang kini menjadi istriku. Selena adalah salah satu teman terbaikku. Bersepeda adalah hobyku yang lain selain naik gunung. Ada kebahagiaan yang sama yang kudapatkan. Banyak moment dan banyak tempat yang telah kujamah dengan sepeda yang mulai terlihat buntut. Salah satunya adalah ketika menuju dusun Kedung Dendeng, desa Jipurapah, kecamatan Plandaan kabupaten Jombang.
Selepas subuh aku mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk bersepeda hari ini. Perjalanan kali ini hanya aku dan selena, estimasi waktu kurang lebih 12 jam. Pukul 05.30 aku mulai perjalanan dari rumah orang tuaku tepatnya di Jabon Drenges Kertosono. Sekitar 1,5 jam perjalanan aku memasuki Hutan Jatikalen. Jatikalen adalah Kecamatan yang menjadi pembatas antara kabupaten Nganjuk dan kabupaten Jombang, sebagian besar wilayahnya adalah hutan jati. Pohon-pohonya masih terlihat belia, yang kemudian kutahu itu adalah hasil reboisasi perhutani beberapa tahun silam.
Ada satu kawasan yang pohon-pohon berdiameter sangat besar, terlihat kekar nan angkuh menjulang. Bisa dipastikan bahwa pohon-pohon itu berusia ratusan tahun. Kawasan tersebut disebut Alas Tuo, sesuai namanya dalam ejaan bahasa Jawa. Tempat ini sangat adem, rimbun, seperti memasuki dimensi lain ketika berada di dalamnya. Di tempat ini juga dijadikan acara nyadran. Nyadran adalah acara bersih desa yang rutin dilaksanakan setiap tahun. rangkaian acaranya berupa pembersihan makam leluhur atau tempat yang dikeramatkan, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di Alas Tuo. Tempat ini dikeramatkan oleh masayarakat sekitar, ada aturan tentang larangan berburu di kawasan ini. Salah satu bentuk kearifan lokal yang semoga bisa menjaga kelestarian dan keindahan si Alas Tuo.
Sekitar 30 menit berada dalam jalur hutan jati, akhirnya sampai di desa Pule yang masih dalam kawasan Jatikalen. Perjalanan selanjutnya melewati jalan makadam dan sawah-sawah. Untuk menuju dusun Kedung Dendeng ada beberapa tempat yang harus dilewati diantaranya, Kedung Cinet, desa Jipurapah kemudian baru sampai di Kedung Dendeng. Namun untuk gowes kali ini saya tidak melewati Kedung Cinet, tapi melewati tebing di atasnya. Jalur ini juga baru kutahu saat itu, ketika aku tak sengaja bertemu rombongan sepeda dari jombang yang hendak ke Kedung Cinet.
Rute jalur yang diberikan sangat berbeda dengan rute yang kutahu. Rute jalurnya dimulai dari "jalan cor" sebelum jembatan gantung kedung cinet belok kiri lewat pematang sawah lalu melewati kebun ketela. Kemudian ada sungai kecil yang harus disebrangi, selepas sungai jalur mulai menanjak nan extream kemudian masuk hutan. Hutannya sangat sepi, tak ada yang lain kecuali aku, Selena dan Tuhan tentunya, sering kali muncul keraguan dalam benak dan ingin putar balik. Sekitar satu jam berada dalam hutan yang sepi akhirnya sampai di desa Jipurapah.
Ada perasaan lega ketika telah menginjak Jipurapah. Tingal sebentar lagi sampai Kedung Dendeng yang merupakan salah satu dusun dari desa Jipurapah pikirku kala itu. Namun kadang bayangan tak seindah kenyataan, bahkan kenyataan kadang terlampau indah wkwkwk. Ternyata aku harus menempuh perjalanan panjang nan terjal selama kurang lebih 2 jam. Medan menuju Kedung Dendeng sangat yahud, bisa dibilang medan paling berat dalam gowes kali ini. Jalur makadam yang membelah hutam sangat panjang dan sangat panas sehinga membuatku oleng. Seolah jalannya tak berujung, kulit dan tulangku seakan hangus terbakar matahari yang terik siang itu.
Tepat pukul 12:00 akhirnya tiba di Kedung Dendeng, dusun terpencil yang mayoritas pendudukan bermata pencaharian sebagai petani tembakau dan cabe. Dusun dengan penduduk yang tak lebih dari 40 kepala keluarga yang jauh dari hingar bingar keramaian kota. Hanya ada satu sekolah yaitu SD Satu Atap tempat untuk mengenyam pendidikan formal anak-anak disana. Untuk melanjutkan jenjang berikutnya mereka harus menempuh jarak yang lumayan jauh menuju desa Jipurapah, dan kondisi itu membuat semangat belajar disana cukup rendah. Ketika sampai disana suasana sangat sepi, mungkin karena siang itu sangat membara. Aku membayangkan betapa asyiknya bermalam disini, sunyi tanpa gemerlap dan hingar bingar kota.
Pertama kali yang kucari ketika sampai di Kedung Dendeng adalah warung. Kaloriku sudah terbakar habis dilahap jalan makadam yang membuatku seolah enggan untuk melewatinya kembali, yah seperti kapok lombok istilah orang jawa. Setelah jembatan yang menjadi pembuka dusun Kedung Dendeng ada sebuah kedai di pojokan, segera aku menghampirinya dan mengisi tangki gizi dalam tubuhku untuk bekal perjalanan pulang. Sayangnya kedai itu tak menjual nasi, namun aku meminta untuk memberikanku nasi dengan lauk seadanya yang mereka punya.
Sekitar satu jam aku beristirahat dan ngobrol dengan warga sekitar. Aku mencoba mencari infomasi tentang dusun, tentang jalur yang menghubungkan dengan desa lain. Kata warga setempat, Kedung Dendeng merupakan perbatasan antara Jombang, Bojonegoro dan Nganjuk. Dengan Bojonegoro hanya dipisahkan oleh sungai yang mengering di saat musim kemarau dan bisa dilewati ketika air surut. Sendangkan dengan Nganjuk berbatasan dengan Sendang Gogor Lengkong. Tapi disarankan tidak melewati sendang gogor, karena banyak percabangan dan membutuhkan waktu yang lebih panjang. Atas saran tersebut aku pun kembali lewat Jipurapah, dengan menyimpan rasa penasaran akan jalur Sendang Gogor. Mungkin ketika kala itu aku memaksakan diri lewat Sendang Gogor, akan bermalam dalam hutan tanpa bekal dan peralatan yang mumpuni. Dan yang jelas ibunya Lestari akan “gila” karena khawatir yang berlebihan. Mungkin suatu saat nanti aku akan mencoba lewat Sendang Gogor, dengan estimasi waktu dua hari satu malam dan mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang, fisik, bekal dan tentunya peralatan tempurnya.
Rumah warga dusun kedung dendeng |
Tidak ada komentar: